SEJARAH
MUSHAF AL-QUR’AN
A. Pengumpulan Dalam Arti
Penulisannya Pada Masa Nabi
Rasullullah telah mengangkat para
penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah,
‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka
menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan
pada lembar itu membantu penghafalan di dalam hati. Disamping itu sebagian
sahabatpun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa
diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu,
daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit, “Kami
menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.”
Jibril membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada
malam-malam bulan Ramadan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata,
“Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan
Ramadan, ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui oleh Jibril setiap malam;
Jibril membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril
itu ia sangat pemurah sekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an kepada
Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.”
Tulisan-tulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul
dalam satu mushaf; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain.
Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali
bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin
Mas’ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka
menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali
membacakan Qur’an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas.
Rasulullah berpulang ke
rahmatullah di saat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan
susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan,
atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar
secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu
mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para
qurra dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan
membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu
dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang
menasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib
penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang
turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan
bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi)
Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal
yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi
berkata, “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia
tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan
kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang
diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan, “Rasulullah telah wafat
sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam
surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi
berkata, “Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia
senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya.
Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah
mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai
dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya .
Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan
usulan Umar.”
Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan:
1. Penghafalan,
2.
Pembukuan yang
pertama.
B. Kondisi Al-Qur,an Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin
1.
Pengumpulan Qur’an
pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan islam sesudah
Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan
kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan
mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah
yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal
Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin
Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar
dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para
qarri’.
Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan
melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap
membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan
Umar tersebut, kemudian Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat
kedudukannya dalam qiraat, penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta
kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan
kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti
halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya
Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin
Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan yang ada
dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian
lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat
pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar.
2. Al-Qur’an Pada Masa Umar (Khalifah Kedua)
Setelah menggantikan Abu
Bakar pada tahun 634 M, Umar sendiri merasa prihatin lalu beliau menemui Abu
Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajukan usul
(bermusyawarah dengannya) supaya mengumpulkan Al-Qur'an karena khawatir lenyap
dengan banyaknya khufazh yang gugur, Abu Bakar pertama kali merasa ragu.
Setelah dijelaskan oleh Umar
tentang nilai-nilai positipnya ia memandang baik untuk menerima usul dari Umar.
Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia
tersebut, ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalannya, serta
menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu
mushhaf. Mula pertama Zaid pun merasa ragu, kemudian iapun dilapangkan Allah
dadanya sebagaimana halnya Allah dan melapangkan dada abu bakar dan umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan
dalam shahihnya tentang kisah pengumpulan ini. Karena pentingnya kami
menukilnya sebagai bearikut:
Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: "Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur'an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan "Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: "Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur'an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur'an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur'an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur'an". Aku (Abu Bakar) menjawab: "Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?". Umar r.a. menjawab: "Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik". Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat umar;
Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: "Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur'an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan "Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: "Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur'an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur'an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur'an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur'an". Aku (Abu Bakar) menjawab: "Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?". Umar r.a. menjawab: "Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik". Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat umar;
“ Zaid berkata: Abu Bakar
mengatakan: "Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan
kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu
telitilah Al-Our'an dan kumpulkanlah....!" Zaid menjawab: "Demi Allah
andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat
bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini”
Saya mengatakan: "Bagaimana
anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululah
SAW?". Abu Bakar menjawab: "Demi Allah hal ini adalah baik", dan
ia mengulanginya berulangkali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT
sebagaimana ia telah melapangkan abu bakar dan umar.
Selanjutnya aku meneliti
dan mengumpulkan Al-Qur'an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari
sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur'an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir
surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya
(yaitu):
Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu
rasakan, ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka
berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada
Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang
memiliki 'Arsy yang agung. (At-Taubah:
128-129).
Lembaran-lembaran tersebut
disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat, Kemudian (diserahkan) kepada Umar.
3. Pengumpulan Qur’an
pada masa Usman
Penyebaran Islam bertambah dan para qurra pun
tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari
qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan
(qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan
‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu
pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan
adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena
mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada
Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan
keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi
pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada
gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan
menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus
segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan
dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah
Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca
Qyr’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing
memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang
menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan
demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang
telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian
perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada
anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat
perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena
takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada
Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan
tetap pada satu huruf.
Usman kemudian mengirimkan utusan
kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah
pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman
memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman
bin Haris bin Hisyam. Ketiga orang terkahir ini adalah orang Quraisy, lalu
memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan
pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis
dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas, bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang
kepada Usman, ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan
Azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq. Huzaifah amat terkejut dengan
perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman, “Selamatkanlah
umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab)
sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.” Usman kemudian
mengirim surat kepada Hafsah yang isinya, “Sudilah kiranya anda kirimkan lembaran-lembaran
yang berisi Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah
itu kami akan mengembalikannya.” Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman
memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf.
Usman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu, “Bila kamu berselisih pendapat
dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat
Quraisy karena qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy.”
Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka
selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan
lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap
wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf
lainnya dibakar. Zaid berkata, “Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan
satu ayat dari surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah;
maka kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari, ayat
itu ialah:
‘Di antara
orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah.’ (al-Ahzab: 23)lalu kami tempatkan ayat ini pada surah
tersebut dalam mushaf.”
Berbagai atsar atau keterangan
para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja
mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan
oleh Ibn Jarir: ‘Ya’kub bin Ibrahim berkata kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan
kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: Pada masa
kekahlifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat
seseorang, dan guru qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok
anak-anak yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih,
dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata A yyub: aku
tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling mengkafirkan satu
sama lain karena perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu akhirnya sampai pada
khalifah Usman. Maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada di hadapanku telah
berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami
tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an
pedoman) saja!’
Abu Qalabah berkata: Anas bin
Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah seorang di antara mereka
yang disuruh menuliskan,’ kata Abu Qalanbah: Terkadang mereka berselisih
tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah
menerimnya dari Rasulullah. Akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada di
luar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah
serta memniarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan
mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah
yang sisinya: ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah
menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.’
Ibn Asytah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu
Qalabah, keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa
Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin Gaflah berkata: ‘Ali mengatakan:
‘Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang telah
dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman
berkata : ‘Bagaimana pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendapat berita bahwa
sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari qiraat orang lain.
Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata: ‘Bagaimana penadapatmu? Ia
menjawab: ‘Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga
tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata: Baik sekali
pendapatmu itu.
Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang
dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu
ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an seperti yang
diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan
lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap
wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk di
Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”.
Penamaan mushaf itu sesuai dengan
apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan:”Bersatulah wahai
umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).”
Kemudian ia
memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menerima perintah
dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan. Keputusan
ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah
mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus
disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak
melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk
dalam katergori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian
dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang
telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan
satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar
setiap orang yang mempunyai mushaf “berlainan” dengan mushaf yang disepakati
itu membakar mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka
melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan
sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya
sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat
kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya.
Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya
juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin
membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat
dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari
padanya, tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang
tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang
telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada
lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apabila sebagian orang lemah pengetahuan
berkata: Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan
oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu? maka
jawabnya ialah: ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk
membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi
menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat
dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang
setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah
untuk menyampaikannya, bertanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari
para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini
merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya
orang yang menyampaikan Qur’an di kalangan umat yang penyampaiannya menjadi
hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka
tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yang tujuh
tersebut, yang menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka
ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan
tersebut ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu
menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada
melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan
pemeluknya dari pada menyelamatkannya.”
C. AL-QUR’AN PADA MASA MODERN (SEKARANG)
Tahun-tahun demi tahun Al-Qur’an mengalami
perkembangan, seperti saat ini alquran dengan mudahnya kita dapatkan di setiap
daerah, bahkan disetiap negara yang berpenduduk islam. Terakhir di zaman ustman alquran sudah di
kumpulkan menjadi satu mushaf yang mana disebut dengan Al-Quranul
qarim (kitab suci Al-Quran). Kondisi Al-Quran dizaman modern
ini sangat terjaga keaslian tulisannya, apalagi alquran sudah ditulis diatas
kertas yang dibukukan dalam bentuk tafsir lengkap dengan artinya.
Casino, Hotel & RV Park - MapyRO
BalasHapusFree parking, free 목포 출장샵 self parking, 계룡 출장샵 and valet parking at Casino, Hotel & RV Park. Find the perfect spot 군산 출장마사지 for any occasion. 남원 출장안마 Riverview Casino Hotel. Rating: 7.2/10 · 8,543 reviews · Price 김제 출장샵 range: $$$