ASBABUN
NUZUL
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkenaan dengan hukum diturunkan kepada Rasul saw untuk menjadi keterangan
bagi suatu perkara yang telah terjadi, kejadian-kejadian yang terjadi sebelum
Al-Qur’an diturunkan dinamai: ”Sebab-sebab turun ayat, atau Asbabun Nuzul”.
Makna Asbabun Nuzul
ialah “Kejadian yang menyebabkan diturunkannya ayat Al-Quran untuk menerangkan
hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana serta membicarakan
sebab, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian
karena suatu hikmah.”
B.
Sebab-sebab Turunnya Ayat
Perlu diketahui bahwa mekanisme turunnya ayat
(nuzul) dapat di kelompokkan menjadi dua cara :
1. Turun tanpa diawali oleh suatu peristiwa atau pertanyaan.
2. Turun setelah adanya suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.
Berkaitan dengan
mekanisme kedua, ulama ahli tafsir mencurahkan perhatiannya untuk membahas,
secara lebih mendetail, ayat-ayat yang turun berdasarkan suatu sebab, baik itu
peristiwa maupun pertanyaan.Lebih dari itu, dengan mengarahkan segala
kemampuannya, mereka juga menjeleskan dan menuangkan hasil pemikirannya dalam
buku-buku khusus yang membahas asbab
al-nuzul.Diantara buku yang paling terkenal mengenai tema ini adalah lubbab Al-Nuqul fi asbab al-nuzul
karangan imam Al-Suyuthi.
Mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sidnifikan dalam memahami
Al-Quran. Diantara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikma ditetapkannya
suatu hukum disamping itu, mengetahui asbab
al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat memahami
Al-Quran. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya
suatu hukum akan diketahui dengan jelas.
Berikut dipaparkan 2
kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat, banyak mufassir tang tergelincir dan tidak dapat memahami makna
dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran:
1. Kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari
dan Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah mambaca firman Allah swt; janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa
orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji
atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka
siksa yang pedih.(Q.S. Al-Imran [3]: 188). Setelah membaca ayat tersebut Marwan berkata, “seandainya
benar setiap orang yang merasa gembira dengan apa yang telah di kerjakannya
yang suka dipuji atas apa yang belum dilakukannya akan di siksa, maka semua
orang akan disiksa.” Secara tekstual apa yang difahami Marwan benar. Namun
secara kontekstual tidaklah demikian.Ibn Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut
sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (yahudi dan nasrani)
dalam berbohong. Yaitu, jika nabi Muhammad saw. Bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab
dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi
jawaban, sekaligus mencari pujian dari nabidengan apa yang mereka lakukan.
(H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Kisah Utsman Ibn Mash’un dan ‘Amr Ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini
menganggap bahwa minumam keras (khamar) diperbolehkan dalam islam. Mereka
berdua berargumen dengan firman Allah
swt; tidak ada dosa atas orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh mengenai apa yang telah mereka makan dahulu (QS
Al-Maidah [5]:93). Seandainyamereka mengetahui sebab turunnya ayat
tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun
berkenaan dengan beberapa orang yang memprtanyakan mengapa minuman keras
diharamkan?Lantas, apabila hamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang
keji, bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya?Dalam konteks
itulah, QS Al-Maidah turun untuk memberi jawaban.( HR Imam Ahmad, Al-Nasa’I,
dll).
Begitu juga dengan
firman Allah swt.,maka kearah mana saja
kamu berpaling dan menghadap, disitu ada wajah Allah (kiblat /Ka’bah) (QS
Al-baqarah {2}: 115).Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui,
pasti akn ada yang berkata, “secara
tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan shalat tidak
wajib menghadap kiblat, baik dirumah maupun di perjalanan. “pendapat
seperti itu, tentu saja bertentangan dengan ijma’ (consensus para ulama).
Namun, apabila sebab turunnya diketahui, manjadi jelas bahwa ayat tersebut
turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di shalat berdasarkan
ijtihadnya, kemudian sadar dia telah keliru dalam berijtihad.
C. Pengaruh Turunnya Ayat Terhadap Penetapan Hukum.
Dalam pembahasn ini,
terdapat suatu masalah penting yang diperdebatkan oleh para ulama ushul fiqih. Yaitu,
seandainya kita mengetahui sebab turunnya suatu ayat yang mengandung hukum
syariat, apakah hukum yang dikandung itu bersifat khusus pada sebab turunnya
ayat tersebut ataukah bersifat umum sehingga mencakup unsur-unsur lainnya?
Atau, dalam terminology mereka:
hal-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi am bi khusush al-sabab (apakah umum yang
ditetapkan itu berdasarkan keumuman redaksi ataukah berdasarkan sebab yang
khusus).
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa penetapan hukum suatu ayat didasarkan pada keumuman
redaksinya, bukan pada kekhususan sebabnya.Dengan demikian, hukum yang
ditetapkan dapat mencakup suatu hal, tidak terbatass pada sebab khususnya
saja.Dan tentang beberapa ayat yang diturunkan melalui sebab-sebab tertentu,
para ulama sepakat untuk memberlakukan hukum yang terkandung di dalamnya pada
masalah-masalah lain di luar sebab khususnya.
Misalnya,ayat zhihar (
menyebut punggung istri seperti punggung ibu kandung)Yang secara khusus turun
berkenaan dengan kasus salamah ibn shakhar; ayat li’an (saling melaknat antara
suami dan istri) berkenaan dengan kasus Hilal ibn Umayyah; serta ayat tentang
hukum qadzaf (menuduh zina) berkenaan dengan kasus tuduhan zina yang
dialamatkan kepada Siti A’isyah. Dalam kasus-kasus ini, mayoritas ulama
sepakat bahwa hukum yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut tetap berlaku bagi
semua orang islam. Sebaiknya, mereka yamg tidak mendasarkan hukumnya pada
keumuman redaksi beranggapan bahwa ayat-ayat tersebut berlaku pada penyebab
turunnya ayat saja.
Imam Al-suyuthi berkata,
“Di antara dalil yang dapat dijadikan dasar bagi keabsahan penggunaan keumuman
redaksi (‘umum al-lafdz) adalah kebiasaan para sahabat dalam menggunakan metode
tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan hukum berbagai kasus meskipun ayat
yang digunakan mempunyai sebab-sebab khusus.
Namun, perlu ditegaskan
bahwa silang pendapat yeng terjadi antara jumhur ulama dan yang lain hanya
berkenaan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang apabila di tinjau dari segi
redaksinya memang bersifat umum dan tidak ada dlil pendukung yang membatasi
keumuman redaksinya. Adapun apabila ayat yang turun itu berkenaan dengan
peristiwa tertentu dan redaksinya tidak bersifat umum, hukum yang terkandung di
dalamnya hanya berlaku untuk penyebab turunnya ayat dan tidak boleh
diberlakukan secara umum.Misalnya, firman Allah swt. Dalam
Al-Qur’an yang turun, menurut consensus (ijma’) para ulama, khusus berkenaan
dengan Abu Bakar Al-Shiddiq, dan akan
dijauhkan dari neraka, orang yang paling bertakwa. Yaitu, yang memberikan
hartanya untuk menyucikan diri (QS Al-Lail [92]: 17-18).
Meskipun demikian, ada
juga yang beranggapan bahwa ayat tersebut, sebagaimana kaidah yang telah
disebutkan di atas, berlaku bagi setiap orang yang melakukan hal serupa dengan
perbuatan Abu Bakar. Pemahaman seperti ini dapat dianggap keliru
karena di dalam ayat tersebut tidak ada indikai keumuman. Dalam hal ini, alif
dan lam pada kata al- atqa 9orang yang paling bertakwa) hanya akan menunjukkan
makna umum apabila disambungkan (maushullah) ataupun berfungsi untuk
memakrifatkan (mu’arrafah) jamak atau mufrad yang tidak ber-alif lam, sedangkan
alif dan lam pada kata al-atqa bukanlah alif lam yang berfungsi sebaga
maushukah. Di samping itu, kata al-atqa bukan jamak, melainkan mufrad,. Menurut
consensus para ahli bahasa, alif dan lam juga tidak dapat di sambungkan dengan
af al al-tafdhil (bentuk superlatif). Lebih dari itu, alif dan lam yang masuk
dalam bentuk kata af’ala mempunyai faedah khusus: pembedaan (tamyiz) dan
pemutusan kesertaan kata lain (qath’ al-musyarakah). Dengan demikian, pendapat
yang menyatakan bahwa ayat di atas mengandung maksud umum tidak dapat di
benarkan.Sebaliknya, pendapat yang menegaskan bahwa ayat tersebut mengandung
maksud khusus dan hanya berlaku bagi penyebab turunnya ayat, Abu Bakar
Al-Shiddiq, dapat dibenarkan.
D. Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Turunnya Ayat.
1. Dasar-dasar turunnya ayat (Mashadir Asbab Al-Nuzul)
Untuk menjelaskan
sebab-sebab turunnya ayat, kita harus meriwayatkan dan mendengar dari para
sahabat yang menyaksikan langsung proses turunnya ayat, mengetahui
sebab-sebabnya, dan meneliti kesahihannya. Muhammad ibn sirin berkata, “saya
pernah bertanya kepada ‘Ubaidah tentang satu ayat Al-Qur’an, lalu dia menjawab,
‘Takutkah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.Sebab,
para sahabat yang menjadi rujukan pertama dan terakhir dalam periwayatan
tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an terakhir telah mendahului
kita.Mereka-semoga rahmat dan kerdhaan Allah selalu tercurah kepadanya-adalah
orang-orang yang mengandung beragam ketentuannya.’ Lalu, Muhammad ibn sirin
menambahkan, ‘para sahabat mengetahui hal itu karena mereka selalu mendampingi
Nabi Muhammad saw., mengenali segala tingkah lakunya, meneliti hal-hal yang
berkenaan dengan proses turunnya ayat Al-Qur’an kepadanya, serta menyaksikan
dan mengalaminya secara langsung.
Lantas, bagaimanakah
dengan para sahabat, “Ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini atau itu
(nazalat hadzihi al-ayah fi kadza)”?Apakah perkataan itu berfungsi sebagai
redaksi hadis yang menjadi sumber teks hukum (musnad) ataukah hanya penjelasan
sahabat tentang sebab-sebab turunnya ayat?
Para ulama berbeda
pendapat dalam permasalhan ini,.Imam Al-Bukhari mengategorikan perkataan
sahabat tersebut sebagai redaksi hadis, sementara yang lain tidak.Beberapa
kitab hadis, khususnya musnad Imam Ahmad ibn Hambal, menggunakan redaksi
seperti ini.Hal itu berbeda dengan redaksi yang secara tegas menggunakan kata
sabab ketika menjelaskan alasan turunnya ayat seperti, “sebab turunnya ayat ini
adalah begini.”Penegasan kata “sebab” tersebut, oleh para ulama ahli tafsir
disepakati sebagai redaksi hadis.
Pertanyaan kedua:
mungkinkah perkataan sahabat di atas, “ayat ini turun berkenaan dengan masalah
ini atau itu” menunjukkan sebab turunnya ayat? Imam Al-Zarkasyi, dalam
Al-Burhan-nya menjelaskan, “dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in, dapat
diketahui bahwa apabila salah seorang di antara mereka mengatakan nazalat
hadzihi al-ayah fi kadza (ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini tau itu)
, yang dimaksud pernyataan itu adlah penegasan hukum yang terkandung didalam
suatu ayat, bukan penegasan sebab turunnya ayat. Hal tersebut, dalam terminologo
ilmu tafsir, merupakan jenis pengambilan dalil (istidlal) dari ayat Al-Qur’an
untuk menetapkan suatu hukum, bukan jenis periwayatan (naql) terhadap peristiwa
yang melatarbelakangi turunnya ayat.
2. Keterbilangan sebab dalam ayat yang sama.
Menurut para mufasir,
banyak sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, apabila
satu ayat memiliki beberapa sebab yang melatarbelakanginya, mereka memberikan
beberapa kemungkinan.
a. Apabila ada dua riwayat atau lebih menggunakan redaksi yang sama; hadzihi al-ayah nazalat fi kadza
(ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini tau itu) tanpa adanya indikasi
yang menguatkan salah satunya kepada makna sebab turunnya ayat, dan antara yang
satu dan lainnya menyebutkan suatu permasalahan yang berbeda, dua riwayat
tersebut serta tidak ada alasan sedikit pun untuk memahami salah satunya
sebagai penyebab turunnya. Dengan demikian, semuanya benar dan tidak ada
kontradiksi di dalamnya.
b. Apabila ada dua riwayat atau lebih menggunakan redaksi yang berbeda: yang
kesatu tidak secara tegas menunjukkannya, riwayat kedualah yang di jadikan
sebagai sebab turunnya ayat (sabab al-nuzul). Dan, riwayat
pertama di pahami sebagai penjelas kandungan ayat (istinbath). Misalnya,
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abdullah ibn Umar yang berkata, “Ayat, Nisa’ukum hartsun lakumditurunkan
berkenaan dengan masalah menggauli istri melalui jalan belakang (dubur).”
Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan dari jabir, katanya, ‘kaum yahudi
mengatakan, ‘barang siapa menggauli istrinya dari arah belakang ke dalam ‘jalan
depannya’ (qubul), anaknya akan juling (jika lahir). Kemudian Allah swt.
Menurunkan firman-Nya, istri –istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu dari mana saja kamu
kehendaki.. (QS Al-Baqarah [2]:223). Dalam konteks ini, pendapat yang kuat (mu’tamad) untuk menjelaskan sebab
turunnya ayat di atas adalah riwayat jabir. Sebab, di nsamping secara tegas
menunjukkan sebab turunnya ayat, redaksi yang di gunakan juga bersifat naql
(periwayatan), sedangkan riwayat Ibn ‘Umar merupakan penjelasan tentang hukum
menggauli istri melalui dubur (istinbath).
c. Apabila ada dua riwayat atau lebih menyebutkan sebab turunnya ayat yang
berbeda yang sanad periwayatannya juga berbeda (yang satu sahih, sementara yang
lain tidak), maka pendapat yang kuat (mu’tamad) untuk menjelaskan sebab
turunnya adalah riwayat dengan sanad yang sahih. Sebagai
contoh, Nabi, sebagaimana pernah mengadu kepada Allah selama satu atau dua
malam (tak beranjak dari tempatnya). Kemudian, datanglah seorang wanita seraya
berkata, “Wahai Muhammad! Aku yakin, setanmu pasti telah meninggalkanmu. Lalu,
Allah swt. Menurunkan firmanNya, Demi
waktu dhuha dan demi malam jika gelap-gulita, tiadalah Tuhanmu itu membiarkanmu
dan tidak pula membencimu (QS Al-Dhuha [93]:1-3).
Sementara itu, Imam Al-Thabrani
meriwayatkan bahwa ada seekor anak anjing yang masuk ke rumah Nabi Muhammad
saw. Menyelinap di bawah ranjang dan mati.Kemudian, selama empat hari, Nabi
tidak menerima wahyu sampai para sahabat teringat dengan seekor anak anjing
tersebut dan mengeluarkannya (dari rumah Nabi). Setelah itu, jibril turun
menyampaikan firman Allah yaitu surah Al-Dhuha (93): 1-3.
Berkenaan dengan hal
itu, Ibn Hajar, dalam fath Al-Bari, menjelaskan bahwa kisah tentang
keterlambatan turunnya Malaikat jibril untuk menyampaikan wahyu di sebabkan
oleh adanya seekor anak anjing di bawah ranjang Nabi Muhammad saw. Penjelasan
ini sangatlah popular.Akan tetapi, menjadikan kisah ini sebagai sebab turunnya
ayat merupakan hal yang sangat janggal (gharib).Sebab, dalam mata rantai perawi
hadis terdapat perawai yang tidak dikenal.Oleh karena itu, pendapat yang kuat
adalah riwayat yang sahih.
Selain itu, sangat dimungkinkan
turunnya satu ayat Al-Qur’an berkaitan
dengan dua peristiwa atau lebih. Apabila demikian, sebab-sebab turunnya
tersebut dapat dijadikan sebagai landasan untuk menafsirkan ayat.Bagaimanapun,
tidak ada larangan bagi terjadinya hal seperti itu. Dan, boleh jadi suatu ayat
turun secara berulang-ulang dan setiap kali turun, ia mempunyai satu sebab
tertentu. Misalnya, yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan Al-Bazzar bahwa
Nabi Muhammad saw. Melihat Hamzah ketika dia wafat sebgai syahid. Kemudian,
Nabi saw. Berkata, “sungguh aku mengumpamakanmu dengan tujuh orang kafir (yang
harus disiksa) sebgai alasan atas siksaan yang diberikan kepadamu. Lalu,
turunlah jibril, sedangkan Nabi saw, masih berdiri terpaku menerima beberapa
ayat terakhir dari surah Al-Nahl, yaitu, jika
kamu memberi balasan, berikanlah balasan yang setimpal dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu(QS Al-Nahl [16]:126), (HR Al-Baihaqi dan Al-Bazzar).
Sementara itu, dalam riwayat lain
disebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan hari kemenangan kota
makkah. Yaitu, ketika para Anshar berkata, “jika suatu hari nanti terjadi
peperangan sebagaimana yang terjadi pada erang uhud, kita pasti akan (balas)
memanah mereka (dari atas)” (HR Turmudzi dan Hakim). Kemudian, sewaktu terjadi
penaklukan kota Makkah, Allah swt. Menurunkan ayat tersebut. Dua riwayat ini
dapat digabungkan sehingga riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat itu turun
sewaktu perang uhud, sedangkan riwayat kedua menunjukkan bahwa ayat itu turun
sewaktu penaklukan kota Makkah. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa ayat
tersebut pernah turun di Makkah sebelum peristiwa Hijrah sehingga surah yang
mengandung ayat tersebut dikategorikan ke dalam surah Makkiyyah.
Terkadang suatu peristiwa menjadi
sebab turunnya dua atau bahkan beberapa
ayat dalam beberapa surah. Misalnya, diriwayatkan oleh imam Al-Turmidzi dan
Hakim dari ummu salamah yang berkata,”wahai rasulullah! Aku tidak mendengar
Allah swt.menyebut kaum perempuan dalam masalah hijrah.”kemudian, Allah swt,menurunkan
ayat,maka tuhan mereka memperkannkan
permohonannya(dengan berfirman), “sesungguhnya aku tidak menyia-nyianyakn amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun
perempuan(karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain. Maka,
orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamnya,yang disakiti
pada jalan-ku, yang berperan dan dibunuh, pastilah akan kuhapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah kumasukkan mereka ke dalam surge yang
mengalir sungai-sungai dibawahnya sebagai pahala di sisi Allah swt.Dan, pada
sisinya pahala yang baik (QS Ali ‘imran [3]:195).
Selain itu, Imam Al-hakim juga
meriwayatkan dari ummu salamah yang berkata, “Wahai Rasulullah ! Engkau selalu
menyebut kaum laki-laki , tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan?”Kemudian
turunlah ayat, Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim ,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketetapannya… (QS Al-Ahzab [33]:35).
Di samping itu, juga turun ayat, Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupaun perempuan… (QS
Al-Imran [3]:195)
1.
Turunnya Ayat Al-Qur’an Dan
Usulan ‘Umar ra.
Yang menjadi landasan pokok dalam pembahasan
masalah ini adalah beberapa usulan yang diajukan oleh ‘Umar ra. Sebagaimana
diketahui ,’Umar pernah beberapa kali berbicara tentang berbagai masalah dan
mengusulkannya kepada rasulullah Saw. kemudian
turunlah ayat yang sesuai dengan apa yang diusulkannya.Usulan-usulan ‘Umar
inilah yang kemudian menjadi bagian dari bibliografi ‘Umar yang terkenal.
Berkenaan dengan hal itu,dalam sebuah hadits disebutkan bahwa allah swt.telah
melekatkan kebenaran (haqq) pada lidah dan hati ‘Umar ibn Khatthab (HR Imam
Al-Turmudzi).
Imam Al-Bukhari dan yang lain meriwayatkan
dari Anas ibn Malik yang berkata,”Umar pernah berkata,”Aku sependapat dengan
tuhanku dalam tiga hal,yaitu:
Pertama, aku berkata
,’Wahai rasululah! Bagaimana seandainya kita jadikan makam nabi Ibrahim sebagai
musala?’ Lalu, turun Ayat, Dan jadikanlah
sebagian makam Ibrahim tempat shalat (QS Al-Baqarah[2]:125).
Kedua, aku berkata,’Wahai Rasulullah ! Banyak
orang, Baik yang taat maupun tidak(fajir),keluar-masuk rumah istri-istrimu. Mengapa
tidak kamu perintahkan saja istri-istrimu itu untuk menutup aurat dengan
hijab?’ Kemudian, turun ayat hijab(tentang kewajiban menutup aurat).
Ketiga, ketika istri-istri nabi menampakkan rasa cemburu
kepadanya, aku berkata kepada mereka,’Seandainya Muhammad menceraikan kamu
semua , Allah akan memberi ganti dengan istri-istri yang lebih dari pada kamu
semua.’’’Kemudian,Allah swt. Menurunkan ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan
hal itu.
Berkaitan dengan hal
tersebut,Imam Al-Suyuthi telah menyusun sebuah risalah khusus berisi tentang
usulan-usulan ‘Umar yang sesuai dengan firman Allah swt.risalah ini diberi
judul, Al-kaukab Al-Aghaar fi Muwafakat ‘Umar (Bintang
cemerlang dalam Usulan-usulan ‘Umar).
2.
Pengulangan Turunnya Ayat
Al-Qur’an
Sekelompok ulama temporer dan kontemporer
menegaskan bahwa dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang turun secara
berulang-ulang. Pengulangan turunnya ayat tersebut memiliki beberapa hikmah, di
antaranya:
1.
Untuk mengingatkan
dan memberi nasehat;
2.
Adanya tuntutan yang
mengharuskan ayat tersebut diturunkan lagi;
Untuk memperlihatkan adanya keutamaan bagi penyebab
turunnya ayat. Menurut
mereka, di antara ayat yang turun secara berulang-ulang adalah ayat tentang Ruh, Surah Al-Fatihah dan surah Al-ikhlas. Dalam
kaitan ini,tidak menutup kemungkinan bahwa pengulangan turunnya ayat bertujuan
untuk memberikan manfaat atas keberagaman bacaan (qira’ah) sehingga ada ayat
yang suatu ketika turun dengan bacaan tertentu dan pada saat lainnya dengan
bacaan berbeda,Misalnya,Surah Al-Fatihah; suatu ketika turun dengan maaliki
yaumiddiin (di perpanjang mim-nya), sedangkan pada waktu lain turun dengan maliki yaumiddiin (tidak Diperpanjang
mim-nya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar