12 Desember 2013

ASBABUN NUZUL


ASBABUN NUZUL
A.   Pengertian Asbabun Nuzul
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum diturunkan kepada Rasul saw untuk menjadi keterangan bagi suatu perkara yang telah terjadi, kejadian-kejadian yang terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan dinamai: ”Sebab-sebab turun ayat, atau Asbabun Nuzul”.
Makna Asbabun Nuzul ialah “Kejadian yang menyebabkan diturunkannya ayat Al-Quran untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana serta membicarakan sebab, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian karena suatu hikmah.”

B.   Sebab-sebab Turunnya Ayat
Perlu diketahui bahwa mekanisme turunnya ayat (nuzul) dapat di kelompokkan menjadi dua cara :
1.    Turun tanpa diawali oleh suatu peristiwa atau pertanyaan.
2.    Turun setelah adanya suatu peristiwa atau adanya pertanyaan.
Berkaitan dengan mekanisme kedua, ulama ahli tafsir mencurahkan perhatiannya untuk membahas, secara lebih mendetail, ayat-ayat yang turun berdasarkan suatu sebab, baik itu peristiwa maupun pertanyaan.Lebih dari itu, dengan mengarahkan segala kemampuannya, mereka juga menjeleskan dan menuangkan hasil pemikirannya dalam buku-buku khusus yang membahas asbab al-nuzul.Diantara buku yang paling terkenal mengenai tema ini adalah lubbab Al-Nuqul fi asbab al-nuzul karangan imam Al-Suyuthi.
Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sidnifikan dalam memahami Al-Quran. Diantara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikma ditetapkannya suatu hukum disamping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat memahami Al-Quran. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.
Berikut dipaparkan 2 kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufassir tang tergelincir dan tidak dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran:
1.    Kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah mambaca firman Allah swt; janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.(Q.S. Al-Imran [3]: 188). Setelah membaca ayat tersebut Marwan berkata, “seandainya benar setiap orang yang merasa gembira dengan apa yang telah di kerjakannya yang suka dipuji atas apa yang belum dilakukannya akan di siksa, maka semua orang akan disiksa.” Secara tekstual apa yang difahami Marwan benar. Namun secara kontekstual tidaklah demikian.Ibn Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (yahudi dan nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika nabi Muhammad saw. Bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus mencari pujian dari nabidengan apa yang mereka lakukan. (H.R. Bukhari dan Muslim).
2.    Kisah Utsman Ibn Mash’un dan ‘Amr Ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa minumam keras (khamar) diperbolehkan dalam islam. Mereka berdua  berargumen dengan firman Allah swt; tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mengenai apa yang telah mereka makan dahulu (QS Al-Maidah [5]:93). Seandainyamereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan dengan beberapa orang yang memprtanyakan mengapa minuman keras diharamkan?Lantas, apabila hamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang keji, bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya?Dalam konteks itulah, QS Al-Maidah turun untuk memberi jawaban.( HR Imam Ahmad, Al-Nasa’I, dll).

Begitu juga dengan firman Allah swt.,maka kearah mana saja kamu berpaling dan menghadap, disitu ada wajah Allah (kiblat /Ka’bah) (QS Al-baqarah {2}: 115).Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akn ada yang berkata, “secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik dirumah maupun di perjalanan. “pendapat seperti itu, tentu saja bertentangan dengan ijma’ (consensus para ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, manjadi jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar dia telah keliru dalam berijtihad.

C.    Pengaruh Turunnya Ayat Terhadap Penetapan Hukum.
Dalam pembahasn ini, terdapat suatu masalah penting yang diperdebatkan oleh para ulama ushul fiqih. Yaitu, seandainya kita mengetahui sebab turunnya suatu ayat yang mengandung hukum syariat, apakah hukum yang dikandung itu bersifat khusus pada sebab turunnya ayat tersebut ataukah bersifat umum sehingga mencakup unsur-unsur lainnya? Atau, dalam terminology mereka: hal-‘ibrah bi ‘umum al-lafzhi am bi khusush al-sabab (apakah umum yang ditetapkan itu berdasarkan keumuman redaksi ataukah berdasarkan sebab yang khusus).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa penetapan hukum suatu ayat didasarkan pada keumuman redaksinya, bukan pada kekhususan sebabnya.Dengan demikian, hukum yang ditetapkan dapat mencakup suatu hal, tidak terbatass pada sebab khususnya saja.Dan tentang beberapa ayat yang diturunkan melalui sebab-sebab tertentu, para ulama sepakat untuk memberlakukan hukum yang terkandung di dalamnya pada masalah-masalah lain di luar sebab khususnya.
Misalnya,ayat zhihar ( menyebut punggung istri seperti punggung ibu kandung)Yang secara khusus turun berkenaan dengan kasus salamah ibn shakhar; ayat li’an (saling melaknat antara suami dan istri) berkenaan dengan kasus Hilal ibn Umayyah; serta ayat tentang hukum qadzaf (menuduh zina) berkenaan dengan kasus tuduhan zina yang dialamatkan kepada Siti A’isyah. Dalam kasus-kasus ini, mayoritas ulama sepakat bahwa hukum yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut tetap berlaku bagi semua orang islam. Sebaiknya, mereka yamg tidak mendasarkan hukumnya pada keumuman redaksi beranggapan bahwa ayat-ayat tersebut berlaku pada penyebab turunnya ayat saja.
Imam Al-suyuthi berkata, “Di antara dalil yang dapat dijadikan dasar bagi keabsahan penggunaan keumuman redaksi (‘umum al-lafdz) adalah kebiasaan para sahabat dalam menggunakan metode tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan hukum berbagai kasus meskipun ayat yang digunakan mempunyai sebab-sebab khusus.
Namun, perlu ditegaskan bahwa silang pendapat yeng terjadi antara jumhur ulama dan yang lain hanya berkenaan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang apabila di tinjau dari segi redaksinya memang bersifat umum dan tidak ada dlil pendukung yang membatasi keumuman redaksinya. Adapun apabila ayat yang turun itu berkenaan dengan peristiwa tertentu dan redaksinya tidak bersifat umum, hukum yang terkandung di dalamnya hanya berlaku untuk penyebab turunnya ayat dan tidak boleh diberlakukan secara umum.Misalnya, firman Allah swt. Dalam Al-Qur’an yang turun, menurut consensus (ijma’) para ulama, khusus berkenaan dengan Abu Bakar Al-Shiddiq, dan akan dijauhkan dari neraka, orang yang paling bertakwa. Yaitu, yang memberikan hartanya untuk menyucikan diri (QS Al-Lail [92]: 17-18).
Meskipun demikian, ada juga yang beranggapan bahwa ayat tersebut, sebagaimana kaidah yang telah disebutkan di atas, berlaku bagi setiap orang yang melakukan hal serupa dengan perbuatan Abu Bakar. Pemahaman seperti ini dapat dianggap keliru karena di dalam ayat tersebut tidak ada indikai keumuman. Dalam hal ini, alif dan lam pada kata al- atqa 9orang yang paling bertakwa) hanya akan menunjukkan makna umum apabila disambungkan (maushullah) ataupun berfungsi untuk memakrifatkan (mu’arrafah) jamak atau mufrad yang tidak ber-alif lam, sedangkan alif dan lam pada kata al-atqa bukanlah alif lam yang berfungsi sebaga maushukah. Di samping itu, kata al-atqa bukan jamak, melainkan mufrad,. Menurut consensus para ahli bahasa, alif dan lam juga tidak dapat di sambungkan dengan af al al-tafdhil (bentuk superlatif). Lebih dari itu, alif dan lam yang masuk dalam bentuk kata af’ala mempunyai faedah khusus: pembedaan (tamyiz) dan pemutusan kesertaan kata lain (qath’ al-musyarakah). Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa ayat di atas mengandung maksud umum tidak dapat di benarkan.Sebaliknya, pendapat yang menegaskan bahwa ayat tersebut mengandung maksud khusus dan hanya berlaku bagi penyebab turunnya ayat, Abu Bakar Al-Shiddiq, dapat dibenarkan.

D.   Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Turunnya Ayat.
1.    Dasar-dasar turunnya ayat (Mashadir Asbab Al-Nuzul)
Untuk menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat, kita harus meriwayatkan dan mendengar dari para sahabat yang menyaksikan langsung proses turunnya ayat, mengetahui sebab-sebabnya, dan meneliti kesahihannya. Muhammad ibn sirin berkata, “saya pernah bertanya kepada ‘Ubaidah tentang satu ayat Al-Qur’an, lalu dia menjawab, ‘Takutkah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.Sebab, para sahabat yang menjadi rujukan pertama dan terakhir dalam periwayatan tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an terakhir telah mendahului kita.Mereka-semoga rahmat dan kerdhaan Allah selalu tercurah kepadanya-adalah orang-orang yang mengandung beragam ketentuannya.’ Lalu, Muhammad ibn sirin menambahkan, ‘para sahabat mengetahui hal itu karena mereka selalu mendampingi Nabi Muhammad saw., mengenali segala tingkah lakunya, meneliti hal-hal yang berkenaan dengan proses turunnya ayat Al-Qur’an kepadanya, serta menyaksikan dan mengalaminya secara langsung.
Lantas, bagaimanakah dengan para sahabat, “Ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini atau itu (nazalat hadzihi al-ayah fi kadza)”?Apakah perkataan itu berfungsi sebagai redaksi hadis yang menjadi sumber teks hukum (musnad) ataukah hanya penjelasan sahabat tentang sebab-sebab turunnya ayat?
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalhan ini,.Imam Al-Bukhari mengategorikan perkataan sahabat tersebut sebagai redaksi hadis, sementara yang lain tidak.Beberapa kitab hadis, khususnya musnad Imam Ahmad ibn Hambal, menggunakan redaksi seperti ini.Hal itu berbeda dengan redaksi yang secara tegas menggunakan kata sabab ketika menjelaskan alasan turunnya ayat seperti, “sebab turunnya ayat ini adalah begini.”Penegasan kata “sebab” tersebut, oleh para ulama ahli tafsir disepakati sebagai redaksi hadis.
Pertanyaan kedua: mungkinkah perkataan sahabat di atas, “ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini atau itu” menunjukkan sebab turunnya ayat? Imam Al-Zarkasyi, dalam Al-Burhan-nya menjelaskan, “dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in, dapat diketahui bahwa apabila salah seorang di antara mereka mengatakan nazalat hadzihi al-ayah fi kadza (ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini tau itu) , yang dimaksud pernyataan itu adlah penegasan hukum yang terkandung didalam suatu ayat, bukan penegasan sebab turunnya ayat. Hal tersebut, dalam terminologo ilmu tafsir, merupakan jenis pengambilan dalil (istidlal) dari ayat Al-Qur’an untuk menetapkan suatu hukum, bukan jenis periwayatan (naql) terhadap peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat.

2.    Keterbilangan sebab dalam ayat yang sama.
Menurut para mufasir, banyak sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, apabila satu ayat memiliki beberapa sebab yang melatarbelakanginya, mereka memberikan beberapa kemungkinan.

a.    Apabila ada dua riwayat atau lebih menggunakan redaksi yang sama; hadzihi al-ayah nazalat fi kadza (ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini tau itu) tanpa adanya indikasi yang menguatkan salah satunya kepada makna sebab turunnya ayat, dan antara yang satu dan lainnya menyebutkan suatu permasalahan yang berbeda, dua riwayat tersebut serta tidak ada alasan sedikit pun untuk memahami salah satunya sebagai penyebab turunnya. Dengan demikian, semuanya benar dan tidak ada kontradiksi di dalamnya.
b.    Apabila ada dua riwayat atau lebih menggunakan redaksi yang berbeda: yang kesatu tidak secara tegas menunjukkannya, riwayat kedualah yang di jadikan sebagai sebab turunnya ayat (sabab al-nuzul). Dan, riwayat pertama di pahami sebagai penjelas kandungan ayat (istinbath). Misalnya, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abdullah ibn Umar yang berkata, “Ayat, Nisa’ukum hartsun lakumditurunkan berkenaan dengan masalah menggauli istri melalui jalan belakang (dubur).” Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan dari jabir, katanya, ‘kaum yahudi mengatakan, ‘barang siapa menggauli istrinya dari arah belakang ke dalam ‘jalan depannya’ (qubul), anaknya akan juling (jika lahir). Kemudian Allah swt. Menurunkan firman-Nya, istri –istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu dari mana saja kamu kehendaki.. (QS Al-Baqarah [2]:223). Dalam konteks ini, pendapat yang kuat (mu’tamad) untuk menjelaskan sebab turunnya ayat di atas adalah riwayat jabir. Sebab, di nsamping secara tegas menunjukkan sebab turunnya ayat, redaksi yang di gunakan juga bersifat naql (periwayatan), sedangkan riwayat Ibn ‘Umar merupakan penjelasan tentang hukum menggauli istri melalui dubur (istinbath).
c.     Apabila ada dua riwayat atau lebih menyebutkan sebab turunnya ayat yang berbeda yang sanad periwayatannya juga berbeda (yang satu sahih, sementara yang lain tidak), maka pendapat yang kuat (mu’tamad) untuk menjelaskan sebab turunnya adalah riwayat dengan sanad yang sahih. Sebagai contoh, Nabi, sebagaimana pernah mengadu kepada Allah selama satu atau dua malam (tak beranjak dari tempatnya). Kemudian, datanglah seorang wanita seraya berkata, “Wahai Muhammad! Aku yakin, setanmu pasti telah meninggalkanmu. Lalu, Allah swt. Menurunkan firmanNya, Demi waktu dhuha dan demi malam jika gelap-gulita, tiadalah Tuhanmu itu membiarkanmu dan tidak pula membencimu (QS Al-Dhuha [93]:1-3).

Sementara itu, Imam Al-Thabrani meriwayatkan bahwa ada seekor anak anjing yang masuk ke rumah Nabi Muhammad saw. Menyelinap di bawah ranjang dan mati.Kemudian, selama empat hari, Nabi tidak menerima wahyu sampai para sahabat teringat dengan seekor anak anjing tersebut dan mengeluarkannya (dari rumah Nabi). Setelah itu, jibril turun menyampaikan firman Allah yaitu surah Al-Dhuha (93): 1-3.
Berkenaan dengan hal itu, Ibn Hajar, dalam fath Al-Bari, menjelaskan bahwa kisah tentang keterlambatan turunnya Malaikat jibril untuk menyampaikan wahyu di sebabkan oleh adanya seekor anak anjing di bawah ranjang Nabi Muhammad saw. Penjelasan ini sangatlah popular.Akan tetapi, menjadikan kisah ini sebagai sebab turunnya ayat merupakan hal yang sangat janggal (gharib).Sebab, dalam mata rantai perawi hadis terdapat perawai yang tidak dikenal.Oleh karena itu, pendapat yang kuat adalah riwayat yang sahih.
Selain itu, sangat dimungkinkan turunnya satu ayat Al-Qur’an  berkaitan dengan dua peristiwa atau lebih. Apabila demikian, sebab-sebab turunnya tersebut dapat dijadikan sebagai landasan untuk menafsirkan ayat.Bagaimanapun, tidak ada larangan bagi terjadinya hal seperti itu. Dan, boleh jadi suatu ayat turun secara berulang-ulang dan setiap kali turun, ia mempunyai satu sebab tertentu. Misalnya, yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan Al-Bazzar bahwa Nabi Muhammad saw. Melihat Hamzah ketika dia wafat sebgai syahid. Kemudian, Nabi saw. Berkata, “sungguh aku mengumpamakanmu dengan tujuh orang kafir (yang harus disiksa) sebgai alasan atas siksaan yang diberikan kepadamu. Lalu, turunlah jibril, sedangkan Nabi saw, masih berdiri terpaku menerima beberapa ayat terakhir dari surah Al-Nahl, yaitu, jika kamu memberi balasan, berikanlah balasan yang setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu(QS Al-Nahl [16]:126), (HR Al-Baihaqi dan Al-Bazzar).
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan hari kemenangan kota makkah. Yaitu, ketika para Anshar berkata, “jika suatu hari nanti terjadi peperangan sebagaimana yang terjadi pada erang uhud, kita pasti akan (balas) memanah mereka (dari atas)” (HR Turmudzi dan Hakim). Kemudian, sewaktu terjadi penaklukan kota Makkah, Allah swt. Menurunkan ayat tersebut. Dua riwayat ini dapat digabungkan sehingga riwayat pertama menunjukkan bahwa ayat itu turun sewaktu perang uhud, sedangkan riwayat kedua menunjukkan bahwa ayat itu turun sewaktu penaklukan kota Makkah. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa ayat tersebut pernah turun di Makkah sebelum peristiwa Hijrah sehingga surah yang mengandung ayat tersebut dikategorikan ke dalam surah Makkiyyah.
Terkadang suatu peristiwa menjadi sebab turunnya  dua atau bahkan beberapa ayat dalam beberapa surah. Misalnya, diriwayatkan oleh imam Al-Turmidzi dan Hakim dari ummu salamah yang berkata,”wahai rasulullah! Aku tidak mendengar Allah swt.menyebut kaum perempuan dalam masalah hijrah.”kemudian, Allah swt,menurunkan ayat,maka tuhan mereka memperkannkan permohonannya(dengan berfirman), “sesungguhnya aku tidak menyia-nyianyakn amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan(karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamnya,yang disakiti pada jalan-ku, yang berperan dan dibunuh, pastilah akan kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah kumasukkan mereka ke dalam surge yang mengalir sungai-sungai dibawahnya sebagai pahala di sisi Allah swt.Dan, pada sisinya pahala yang baik (QS Ali ‘imran [3]:195).
Selain itu, Imam Al-hakim juga meriwayatkan dari ummu salamah yang berkata, “Wahai Rasulullah ! Engkau selalu menyebut kaum laki-laki , tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan?”Kemudian turunlah ayat, Sesungguhnya laki-laki  dan perempuan yang muslim , laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketetapannya… (QS Al-Ahzab [33]:35).
Di samping itu, juga turun ayat, Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupaun perempuan… (QS Al-Imran [3]:195)


1.   Turunnya Ayat Al-Qur’an Dan Usulan ‘Umar ra.
Yang  menjadi landasan pokok dalam pembahasan masalah ini adalah beberapa usulan yang diajukan oleh ‘Umar ra. Sebagaimana diketahui ,’Umar pernah beberapa kali berbicara tentang berbagai masalah dan mengusulkannya kepada rasulullah Saw. kemudian turunlah ayat yang sesuai dengan apa yang diusulkannya.Usulan-usulan ‘Umar inilah yang kemudian menjadi bagian dari bibliografi ‘Umar yang terkenal. Berkenaan dengan hal itu,dalam sebuah hadits disebutkan bahwa allah swt.telah melekatkan kebenaran (haqq) pada lidah dan hati ‘Umar ibn Khatthab (HR Imam Al-Turmudzi).
Imam Al-Bukhari dan yang lain meriwayatkan dari Anas ibn Malik yang berkata,”Umar pernah berkata,”Aku sependapat dengan tuhanku dalam tiga hal,yaitu:
Pertama, aku berkata ,’Wahai rasululah! Bagaimana seandainya kita jadikan makam nabi Ibrahim sebagai musala?’ Lalu, turun Ayat, Dan jadikanlah sebagian makam Ibrahim tempat shalat (QS Al-Baqarah[2]:125).
Kedua, aku berkata,’Wahai Rasulullah ! Banyak orang, Baik yang taat maupun tidak(fajir),keluar-masuk rumah istri-istrimu. Mengapa tidak kamu perintahkan saja istri-istrimu itu untuk menutup aurat dengan hijab?’ Kemudian, turun ayat hijab(tentang kewajiban menutup aurat).
Ketiga, ketika istri-istri nabi menampakkan rasa cemburu kepadanya, aku berkata kepada mereka,’Seandainya Muhammad menceraikan kamu semua , Allah akan memberi ganti dengan istri-istri yang lebih dari pada kamu semua.’’’Kemudian,Allah swt. Menurunkan ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan hal itu.
Berkaitan dengan hal tersebut,Imam Al-Suyuthi telah menyusun sebuah risalah khusus berisi tentang usulan-usulan ‘Umar yang sesuai dengan firman Allah swt.risalah ini diberi judul, Al-kaukab  Al-Aghaar fi Muwafakat ‘Umar (Bintang cemerlang dalam Usulan-usulan ‘Umar).

2.   Pengulangan Turunnya Ayat Al-Qur’an
Sekelompok ulama temporer dan kontemporer menegaskan bahwa dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang turun secara berulang-ulang. Pengulangan turunnya ayat tersebut memiliki beberapa hikmah, di antaranya:
1.    Untuk mengingatkan dan memberi nasehat;
2.    Adanya tuntutan yang mengharuskan ayat tersebut diturunkan lagi;
Untuk memperlihatkan adanya keutamaan bagi penyebab turunnya ayat. Menurut mereka, di antara ayat yang turun secara berulang-ulang adalah ayat tentang Ruh, Surah Al-Fatihah dan surah Al-ikhlas. Dalam kaitan ini,tidak menutup kemungkinan bahwa pengulangan turunnya ayat bertujuan untuk memberikan manfaat atas keberagaman bacaan (qira’ah) sehingga ada ayat yang suatu ketika turun dengan bacaan tertentu dan pada saat lainnya dengan bacaan berbeda,Misalnya,Surah Al-Fatihah; suatu ketika turun dengan maaliki yaumiddiin (di perpanjang mim-nya), sedangkan pada waktu lain turun dengan maliki yaumiddiin (tidak Diperpanjang mim-nya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar