12 Desember 2013

SEJARAH MUSHAF AL-QUR'AN


SEJARAH MUSHAF AL-QUR’AN

A.   Pengumpulan Dalam Arti Penulisannya Pada Masa Nabi
Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan di dalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit, “Kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.”
Jibril membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata, “Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan Ramadan, ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui oleh Jibril setiap malam; Jibril membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril itu ia sangat pemurah sekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.”
Tulisan-tulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas.
Rasulullah berpulang ke rahmatullah di saat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata, “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan, “Rasulullah telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata, “Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.”
Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan:
1.      Penghafalan,
2.      Pembukuan yang pertama.

B.   Kondisi Al-Qur,an Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin
1.   Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri’.
Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut, kemudian Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar.

2.   Al-Qur’an Pada Masa Umar (Khalifah Kedua)
Setelah menggantikan Abu Bakar pada tahun 634 M, Umar sendiri merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajukan usul (bermusyawarah dengannya) supaya mengumpulkan Al-Qur'an karena khawatir lenyap dengan banyaknya khufazh yang gugur, Abu Bakar pertama kali merasa ragu.
Setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positipnya ia memandang baik untuk menerima usul dari Umar. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut, ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalannya, serta menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushhaf. Mula pertama Zaid pun merasa ragu, kemudian iapun dilapangkan Allah dadanya sebagaimana halnya Allah dan melapangkan dada abu bakar dan umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya tentang kisah pengumpulan ini. Karena pentingnya kami menukilnya sebagai bearikut:
Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: "Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur'an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan "Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: "Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur'an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur'an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur'an yang hilang.
Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur'an". Aku (Abu Bakar) menjawab: "Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?". Umar r.a. menjawab: "Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik". Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat umar;
“ Zaid berkata: Abu Bakar mengatakan: "Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu telitilah Al-Our'an dan kumpulkanlah....!" Zaid menjawab: "Demi Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini”
Saya mengatakan: "Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululah SAW?". Abu Bakar menjawab: "Demi Allah hal ini adalah baik", dan ia mengulanginya berulangkali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan abu bakar dan umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur'an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur'an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya (yaitu):
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu rasakan, ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung. (At-Taubah: 128-129).
Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat, Kemudian (diserahkan) kepada Umar.

3.   Pengumpulan Qur’an pada masa Usman
Penyebaran Islam bertambah dan para qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Qyr’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga orang terkahir ini adalah orang Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas, bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman, ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq. Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.” Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya, “Sudilah kiranya anda kirimkan lembaran-lembaran yang berisi Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.” Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy karena qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy.”
Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata, “Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah; maka kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari, ayat itu ialah:
‘Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.’ (al-Ahzab: 23)lalu kami tempatkan ayat ini pada surah tersebut dalam mushaf.”

Berbagai atsar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir: ‘Ya’kub bin Ibrahim berkata kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: Pada masa kekahlifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata A yyub: aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman) saja!’
Abu Qalabah berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah seorang di antara mereka yang disuruh menuliskan,’ kata Abu Qalanbah: Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimnya dari Rasulullah. Akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada di luar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta memniarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang sisinya: ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.’
Ibn Asytah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah, keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin Gaflah berkata: ‘Ali mengatakan: ‘Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata : ‘Bagaimana pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari qiraat orang lain. Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata: ‘Bagaimana penadapatmu? Ia menjawab: ‘Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata: Baik sekali pendapatmu itu.
Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”.
Penamaan mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan:”Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).” Kemudian ia memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menerima perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf “berlainan” dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya, tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apabila sebagian orang lemah pengetahuan berkata: Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu? maka jawabnya ialah: ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, bertanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an di kalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.”

C.   AL-QUR’AN PADA MASA MODERN (SEKARANG)
Tahun-tahun demi tahun Al-Qur’an mengalami perkembangan, seperti saat ini alquran dengan mudahnya kita dapatkan di setiap daerah, bahkan disetiap negara yang berpenduduk islam. Terakhir di zaman ustman alquran sudah di kumpulkan menjadi satu mushaf yang mana disebut dengan Al-Quranul qarim (kitab suci Al-Quran). Kondisi Al-Quran dizaman modern ini sangat terjaga keaslian tulisannya, apalagi alquran sudah ditulis diatas kertas yang dibukukan dalam bentuk tafsir lengkap dengan artinya.

1 komentar:

  1. Casino, Hotel & RV Park - MapyRO
    Free parking, free 목포 출장샵 self parking, 계룡 출장샵 and valet parking at Casino, Hotel & RV Park. Find the perfect spot 군산 출장마사지 for any occasion. 남원 출장안마 Riverview Casino Hotel. Rating: 7.2/10 · ‎8,543 reviews · ‎Price 김제 출장샵 range: $$$

    BalasHapus