NASIKH
DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi nasakh dapat diartikan
menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql),
mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil).
Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali
mengartikan nasakh dengan 2 macam yaitu:
Pertama: الازلة yang
berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang
sering berkata:
نسخت الشمس الظل.
“Cahaya
Matahari menghilangkan bayang-bayang”.
Kedua: memindahkan sesuatu dari
satu tempat ketempat yang lainnya (نقل الشيء الى موضع).
Adapun secara terminologinya, naskh
adalah raf’ al-hukm al-syari’at bid dalil asy-syar’i. Defenisi ini akan
membawa pada pengertian bahwa naskh itu mengandung arti izalah dan raf’.
Selanjutnya, apabila hukum syar’i hanya bisa dihapus oleh hukum syar’i maka
akan timbul persoalan, apakah naskh hanya berlaku antara Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an saja, tidak dengan sunnah.
Adapun yang dimaksud dengan
nasakh dalam terminologi para ahli-ahli ilmu al-Qur’an dan ulama ushul fiqh
dapat dilihat dari definisi nasakh yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Adhim
Az-Zarqani dan Muhammad Abu Zahrah di bawah ini:
Yang pertama, Az-Zarqani yang
dapat dikatakan mewakili kalangan ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, memformulasikan
nasakh dengan penghapusan hukum syar’i berdasarkan dalil syar’i. Sementara Abu
Zahrah, yang mereferensikan kalangan ulama ushul fiqh, mendefinisikan nasakh
dengan penghapusan hukum syar’i oleh syari’ (Allah SWT) dengan dalil yang datang
kemudian.
Jadi, nasakh yang umum dikenal
kaum muslimin terutama para ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan
hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang
datang kemudian. Hukum syar’i yang menghapuskan atau membatalkan lazim
disebut dengan istilah nasikh; sementara hukum syar’i yang dihapus atau
dibatalkan disebut mansukh.
Sebagai contoh, sebelum turun
ayat dalam surat al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan kiblat shalat ke arah
Ka’bah Baitullah di Masjidil Haram, kiblat kaum muslimin adalah menghadap ke
arah Masjidil Aqsha, tetapi setelah turun ayat yang memerintahkan arah kiblat
ke Masjidil Haram, maka nabi Muhammad beserta umatnya beralih arah kiblatnya ke
Masjidil Haram. Dari kasus ini dapat dikemukakan bahwa menghadap kiblat ke
Masjidil Haram adalah nasikh, sedangkan menghadap ke Masjidil Aqsha adalah
mansukh.
Selanjutnya,
uraian tentang pengertian naskh ini dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu
berikut ini.
1.
Gambaran tentang terangkatnya hukum syari’at tidak
mungkin terlaksana kecuali dengan dua jalan:
a.
Bahwa dalil syar’i mempunyai tenggang waktu dengan
hukum marfu’.
b.
Bahwa antara dua dalil ini terjadi ta’arudh hakiki
sehingga tidak mungkin melakukan kompromi (al-jam’) antara keduanya.
2.
Defenisi tersebut memberi pengertian bahwa naskh tidak
tertuju kepada hukum. Dengan demikian, sekalipun ada pembagian naskh tilawah
dan hukum hanya sekedar untuk memberi penjelasan tentang naskh itu. Yang
disebut naskh tilawah itu sesungguhnya tidak keluar naskh hukum karena naskh
tilawah itu tidak mempunyai arti hakikat kecuali menasakhkan hukum juga.
3.
Naskh yang terjadi mencakup dalam Al-Qur’an dan As
Sunnah semuanya yaitu: qauliyah, fi’liyah, wasfiyah dan tadriyah, karena
semuanya bersumber dari wahyu Allah SWT. dengan demikian, tidak mungkin timbul
dari ibtida’ dan naskh kecuali berdasarkan wahyu Allah SWT. baik yang sharih
maupun taqrir.
4.
Bahwa idhafah dalam raf’ al-hukm asy-syar’i
adalah idhafah masdar kepada maf’ul sedang fa’ilnya tersembunyi,
yaitu Allah SWT. dengan demikian, pengertian sesungguhnya dari nasikh itu
adalah Allah SWT.
B.
Macam-macam Nasikh Mansukh
Naskh terbagi kepada tiga macam, yaitu:
a.
Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Ma’an, yaitu penghapusan teks al-Qur’an dan sekaligus juga
penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan
ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: “Pada mulanya, diturunkan ayat
al-Qur’an (tentang saudara sepersusuan yang haram untuk dinikahi) adalah
sepuluh susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima kali susuan yang
diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah wafat.
b.
Naskh al-Hukmi wa Baqa’ al-Tilawah, yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan
tidak menghapuskan bacaannya atau teksnya tetap diabadikan. Ayat-ayat yang
dijadikan contoh antara lain ayat tentang mendahulukan sedekah (QS. Al-
Mujadilah:12)
يا ايها الذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة ذلك خيرلكم
واطهر فان لم تجدوا فان الله غفور رحيم.
Ayat ini dinasakhkan oleh ayat Al-Mujadilah: 13
ااشفقتم ان تقدموا بين يدي نجواكم صدقات فاذا لم تفعلوا وتاب الله عليكم
فاقيموا الصلاة واتوا الزكاة واطيعوا الله ورسوله والله خبير بما تعملون.
Arti ayat yang
pertama dinasakhkan ayat yang kedua, tetapi bacaan keduanya tetap.
Menurut
As-Suyuthi, ayat-ayat mansukh bagian kedua ini berjumlah 20 tempat, yaitu:
1.
QS. Al-Baqarah: 180 dinasakhkan ayat mawarits, menurut
yang lain dinasakhkan oleh hadits, adapula yang mengatakan dinasakhkan dengan
ijma’ (yang dihikayatkan Ibn Arabi).
2.
QS. Al-Baqarah: 184 dinasakhkan ayat 185.
3.
QS. Al-Baqarah: 187 dinasakhkan ayat 183.
4.
QS. Al-Baqarah: 217 dinasakhkan QS. At-Taubah: 36.
5.
QS. Al-Baqarah: 240 dinasakhkan ayat 234.
6.
QS. Al-Baqarah: 284 dinasakhkan ayat 286.
7.
QS. Al-Baqarah: 102 dinasakhkan QS. At-Taghabun: 16.
8.
QS. An-Nisa’: 33 dinasakhkan QS. Al-Anfal: 75.
9.
QS. An-Nisa’:8 dinasakhkan ayat 15 (menurut sebagian
tidak).
10. QS. An-Maidah: 2 dinasakhkan dengan boleh berperang.
11. QS. An-Maidah: 42 dinasakhkan ayat 49.
12. QS. Al- Anfal: 65 dinasakhkan ayat sesudahnya.
13. QS. Al- Baraah: 41 dinasakhkan ayat ‘uzur, QS. An-Nur:
61 dan QS. At-Taubah: 91-92, 122.
14. QS. An-Nur: 3 dinasakhkan ayat 32.
15. QS. An-Nur: 58 dinasakhkan (menurut sebagian tidak).
16. QS. Al-Ahzab: 50 dinasakkhkan ayat 50.
17. QS. Al-Mujadilah: 12 dinasakhkan ayat 13.
18. QS. Al-Mumtahanah: 11 dinasakhkan ayat ghanimah dan
menurut yang lain muhkam.
19. QS. Al- Muzammil: 2 dinasakhkan ayat akhir surat
kemudian dinasakhkan oleh shalat yang lima.
20. QS. Al-Baqarah: 115 dinasakhkan ayat 144.
c.
Naskh al-tilawah wa baqa’ al-hukmi, yaitu dinasakhkan bacaan bukan hukumnya, seperti
ayat rajam pernyataan Umar bin al-Khattab yang menyatakan: “Sekiranya aku tidak
khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambah-nambahkan al-Qur’an
dengan yang tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang
hukuman rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat:
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالاً من الله
والله عزيز حكيم
Adapun pembagian dari naskh itu terbagi atas ada
empat, yaitu:
1.
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Bagian ini
disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al- Baqarah (2): 240,
artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal
dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk
istri-istrinya, yaitu diberi nafkah sehingga setahun lamanya dengan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka
tidak ada dosa bagimu, (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” QS. Al-Baqarah: 234
artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia
diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila
telah habis masa iddahnya maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”
Ada yang
berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian
wasiat bagi istri, jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin
lagi. Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan masalah iddah. Dengan demikian
tidak ada pertentangan antara kedua ayat ini.
2.
Al-Qur’an dengan Sunnah
naskh ini terbagi atas dua macam:
Adapun kalau
nash Al-Qur’an dinasakh dengan nash Sunnah, maka perlu diketahui kalau Sunnah
terbagi menjadi dua macam:
a.
Nash Sunnah yang dinukil secara mutawatir,
sebagaimana cara Al-Qur’an dinukil.
Syaikh Ali bin Ubaidillah
telah menceritakan dua buah riwayat yang
berasal dari Ahmad. Dalam riwayat ini disebutkan, kalau Ahmad telah berkata
bahwa pendapat yang masyhur menyebutkan kalau nash Al-Qur’an tidak boleh
dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat inilah yang dianut oleh
Ats-Tsauri dan Asy-Syafi’i. Sedangkan riwayat kedua dari Ahmad menyebutkan
kalau nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat ini
telah dianut oleh Abu Hanifah.
Malik berkata
bahwa dalil untuk riwayat pertama dari Ahmad, yang menyatakan nash Al-Qur’an
tidak bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir adalah firman Allah SWT.
ما ننسخ من اية او ننسها نات بخير منها او مثلها.
“ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”. (QS. Al-Baqarah (2): 106)
Adapun dalil
untuk riwayat kedua dari Ahmad, yang menyebutkan bahwa nash Hadits mutawatir
bisa menasakh nash Al-Qur’an adalah firman Allah SWT.
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم.
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl:
44)
Bukti bahwa
Hadits mutawatir bisa menasakh nash Al-Qur’an menurut pendapat yang
membolehkannya adalah firman Allah SWT. “Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 180) yang dinasakh dengan sabda
Rasulullah SAW,
لا وصية لوارث.
“Tidak ada wasiat untuk ahli
waris”.
b.
Nash Sunnah yang dinukil secara ahad. Jenis nash Sunnah
ini sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk menasakh Al-Qur’an, karena Hadits
Ahad tidak berkonsekuensi hukum qath’i (pasti), namun hanya menimbulkan hukum
yang bersifat zhann. Padahal, Al-Qur’an merupakan nash yang berkonsekuensi
hukum qath’i. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan sesuatu yang sifatnya
qath’i hanya karena pertimbangan sesuatu yang bersifat zhann.
3.
Sunnah dengan Al-Qur’an
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . [8]
Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah
dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu
dinaskh oleh al-qur`an dengan firmannya : Artinya : “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai .
Palingkanlah mukamu kearah masjidil haram . Dan di mana saja kamu berada ,
palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan
nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali
kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Baqarah/2: 144)
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis,
yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya.” [Al Baqarah :144]
4. Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b. Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c. Sunnah ahad dengan mutawatir
d. Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d
terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad ,
yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama .
C.
Pandangan Ulama Tentang Nasikh dan Mansukh
Para ulama bersepakat bahwa nash Al-Qur’an boleh
dinasakh dengan nash Al-Qur’an. Begitu juga dengan nash Sunnah boleh dinasakh
dengan nash Sunnah.
Sebagian ulama
yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh
antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an
dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan
al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus
lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan
menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, dilihat dari sisi
nasikh-mansukh, surat-surat Al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok
besar. Pertama, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali
tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat.
Kedua, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat
nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok
surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6
surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada
ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan
jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada
yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih
sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap
nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20
hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama,
tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat
yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat
saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan
an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2):
234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan
al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan
dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal Al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur
ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad
Al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada
nasikh-mansukh internal Al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang
oleh Al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Di antara
ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh
sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya,
tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh ayat-ayat Al-Qur’an
sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin”
dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an,
sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan
mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan
Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat
penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih
mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah
dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad
kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah
turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah
tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah
yang bersumber dari Ibn Abbas).
Adapun ulama yang menerima adanya nasikh dan mansukh:
1.
Imam Syafi’i
Imam
Syafi’i mengakui adanya naskh dalam Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah SWT
dalam surah Al-Baqarah: 106,
ما ننسخ من اية او ننسها نات بخير منها او
مثلها الم تعلم ان الله علي كل شيء قدير.
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
2.
Ibnu katsir
Ibnu
Katsir dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa “Sesungguhnya rasio tidak ada
alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum
Allah, karena Allah mentepkan hukum menurut kehendak Nya dan melakukan apa saja
yang dikehendaki Nya.”
3.
Al-Maragi
Al-Maragi
dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan naskh dalam Al-Qur’an
dengan menyatakan, “Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan kecuali
untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan
tempat, Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu,
kemudian keprluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana
menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai
dengan waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi jauh lebih baik dari yang
semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”
4.
Muhammad Rasyid Rida
Muhammad
Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan: ”Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda
karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila suatu
hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian
hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan
bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih
sesuai dengan waktu itu.”
5.
Sayyid Qutub
Sayid
Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap pendirian
orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran
Islam dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan hukum-hukum Nya
dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil
Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan
terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi dan
kondisi mereka yang berkembang yang baru.
6.
Manna Khalil Al-Kattan
Manna
Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu
masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf
pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era
perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri` pada suatu periode
akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain. Oleh karena itu
wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk
menjaga kepentingan para hambaNya.
Sedangkan
tokoh yang menolak adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an:
1.
Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
2.
Imam Ar-Razi
3.
Muhammad Abduh
4.
Dr. Taufiq Sidqi
5.
Muhammad Khudari Bek
6.
Muhammad Abduh
Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat
al-Qur`an yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh, dengan
perbedaan penafsiran. Adapun alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:
1.
Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok
pendukung naskh dijadikan sebagai argumentasi adanya naskh dalam al-Qur`an,
menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari al-Qur`an atau
merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan
oleh al-Qur`an . Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab kitab suci
sebelum al-Qur`an diganti dengan yang lebih baik , ayitu al-Qur`an. Kandungan
surat an-Nahl ayat : 101 dilihat dari segi turunnya ditujukan kepada orang
orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum
yang ada di dalam al-Qur`an berlainan dengan hukum hukum dalam Taurat dan
Injil. Menurut mereka kalau al-Qur`an benar benar datang dari Allah SWT, maka
pasti tidak akan berbeda dari isi kitab kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah
SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hambaNya.
2.
Jika dalam al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti
didalam al-Qur`an terdapat kesalahan dan saling berlawanan , padahal al-Qur`an
sendiri telah menegaskan:
Artinya ”Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji.” (QS.Fush-shilat / 41: 42)
3.
Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya
naskh dalam al-Qur`an. Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.
4.
Hadits – hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh
dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits ”Tidak ada wasiat bagi
penerima waris” (HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah,
Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits
ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan hadits ahad tidak punya kualifikasi
untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum sesuatu.
5.
Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada
kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh. Misalnya , menurut
an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan
asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti
tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada sebagian ayat yang oleh sebagian
ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat
dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh
membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat ayat yang oleh
pendukung naskh dinilai kontradiktif.
D. Metode yang Digunakan untuk Mengetahui
Nasikh Mansukh
1.
Penjelasan
langsung dari rasul
2.
Dalam satu
nash yang bertentangan itu ada petunjuk yang menyatakan salah satu nash lebih
dahulu datangnya dari yang lain. Seperti hadits Nabi :
كنت نهيتكم عن زيارة
القبور فالآن فزورها.(رواه المسلم)
Artinya : Dahulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur tapi kini ziarahilah.
3.
Periwayat
hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang bertentangan itu
lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain.
Adapun cara lain yang digunakan untuk mengetahui
nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:
1.
Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat mi
nasakh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian
turunnya dalam perspektif sejarah.
E.
Manfaat yang Bisa Dipetik dari Mempelajari Nasikh
Mansukh
1.
Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
Sebagian alasan adanya naskh yang membawa hukum yang
lebih berat bertujuan untuk membawa ummat ke derajat yang lebih tinggi akhlak
dan tingkat peradabannya. Pada mulanya mereka cukup untuk meninggalkan kebiasaan
yang sudah lama seperti kasus meminum khamar. Pada mulanya masih dinyatakan
bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari
manfaatnya, kemudian khamar diharamkan sama sekali.
2.
Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberi
keringanan kepada hamba Nya dan menunjukkan karunia Allah SWT. dan Rahmat Nya.
Dengan demikian hamba Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan,
dan mencintai agama Nya.
3.
Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian
ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan
dan berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi hamba Nya
sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka yang
betul-betul beriman. siapa yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa yang
menjadi munafik. pemisahan antara yang betu-betul beriman menjadi faktor utama.
Adapun manfaat
yang lain yang bisa dipetik yaitu:
a.
Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat
yang paling sempurna.
b.
Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan
mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c.
Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu
relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang
sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d.
Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamalkan hukum-hukum Allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan
membangkang.
e.
Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang
selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada
yang sukar.
Untuk
memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh
banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati
kebijakansanaan dan kemurahan Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha
penyayang.