MAKKIYAH
DAN MADANIYAH
A. Pengertian Makkiyyah dan Madaniyah
Makkiyah adalah segala ayat yang
diturunkan di Makkah, termasuk di daerah-daerah sekitar Makkah seperti Arafah,
Hudaibiah, dan lain-lain. Makkiyah juga segala ayat yang turun sebelum
Rasulullah hijrah, sekalipun turunnya di Madinah. Selain itu, bentuk ayat
Makkiyah berisi pembicaraan tentang penduduk Mekkah dan sekitarnya.
Madaniyah adalah segala ayat yang turun
di Madinah, ataupun yang turun di sekitar Madinah seperti Badar, Uhud, dan
lain-lain. Madaniyah juga dapat diartikan segala ayat yang turun setelah
Rasulullah hijrah sekalipun turunnya di Mekkah. Madaniyah segala ayat yang isi
pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya.
Abul Qasim
al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya at-Tanbih
‘ala fadli ‘Ulumil Qur’an: “Diantara ilmu-ilmu Qur’an yang paling mulia
adalah ilmu tentang nuzul Qur’an dan daerahnya,urutan turunnya di Makkah dan
Madinah, tentang yang turunnya di Makkah tetapi hukumnya Madinah dan tentang
yang turunnya di Madinah tetapi hukumnya Makkah, yang diturunkan di Makkah
mengenai penduduk Madinah dan yang diturunkan di Madinah mengenai penduduk
Makkah, yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah tetapi termasuk madani dan
sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Jufah, Baitul Maqdis, Taif atau
Hudaibiyyah. Demikian juga tentang yang diturunkan di waktu malam, di waktu
siang, diturunkan secara bersama-sama,[1] atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat
Madaniyah dari surah-surah Makkiyah, ayat-ayat Makkiyah dalam surah-surah
Madaniyah; yang dibawa dari Makkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke
Makkah; yang dibawa dari Madinah ke Abisinia, yang diturunkan dalam bentuk
global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga sebagian
orang mengatakan Madani dan sebagian mengatakan Makki. Itu
semua ada dua puluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat
membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Qur’an.”[2]
Para ulama sangat memperhatikan
Al-Qur’an dengan cermat. Mereka menertibkan surah-surah sesuai dengan tempat
turunnya. Dan hal yang sangat terpenting dalam pembahasan Makkiyah dan
Madaniyah adalah:
1. Ayat
yang diturunkan di Makkah.
2. Ayat
yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat
yang diperselisihkan.
4. Ayat-ayat
Makkiyah dalam surah-surah Madaniyah.
5. Ayat-ayat
Madaniyah dalam surah-surah Makkiyah.
6. Ayat
yang diturunkan di Makkah sedang hukumnya Madaniyah.
7. Ayat
yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makkiyah.
8. Ayat
yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat
yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10. Ayat
yang dibawa dari Makkah ke Madinah.
11. Ayat
yang dibawa dari Madinah ke Makkah.
12. Ayat
yang turun di waktu malam dan di waktu siang.
13. Ayat
yang turun di musim panas dan di musim dingin.
14. Ayat
yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.
Inilah
macam-macam ilmu Qur’an yang pokok, berkisar disekitar Makki dan Madani; oleh
karenanya dinamakan “ilmul Makki dan Madani.”[3]
B.
Cara
mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Metode untuk sampai dengan tepat
terhadap pemberian identitas apakah ini surah Makkiyah atau Madaniyah, yang
paling tepat dan selamat dari segala fitnah adalah dengan naqlis simai (kutipan
lisan), yaitu suatu metode mengenali jenis surah yang disandarkan pada
periwayatan dari salah satu sahabat periode wahyu, dan mereka menyaksikan
turunnya ayat, atau dari para tabiin yang mendengar dari para sahabat sendiri.
Al-Baqilani berkata, sebagaimana
dikutip kembali oleh Fahd bin Abdurrahman Arrumi:
“Pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah
dan Madaniyah sungguh mengacu pada hafalan para sahabat dan tabiin. Tidak
berasal dari nabi sendiri, meski berupa komentar. Sebab beliau tidak
diperintahkan, dan Allah belum menjadikan hal tersebut suatu ilmu yang menjadi
kewajiban umat. Maka kita diwajibkan mengetahui hal tersebut untuk bisa melihat
sejarah nasikh mansukh, dan itu diketahui tanpa nash dari Rasul.”
Di antara contohnya adalah surah
Al-Anfal 64:
Artinya: “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi
pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.”
Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas
bahwa ayat tersebut diturunkan setelah Umar masuk Islam. Sehingga ayat ini
diketahui sebagai ayat Makkiyah.
Metode yang kedua adalah qiyas ijtihadi,
yaitu suatu upaya mengenali surah yang ada melalui karakteristik surah itu
sendiri. Karena tidak semua surah diketahui tempat turunnya, atau tidak
semua surah ada periwayatan dari para sahabat terkait di manakah letak turun
ayat tersebut. Pemahaman tentang kebudayaan masyarakat Mekkah dan Madinah serta
penelitian sejarah yang valid sangat mendukung proses qiyas ijtihadi
ini.
Hal itu sangat beralasan mengingat
pengetahuan akan budaya dan sejarah suatu masyarakat mampu membantu peneliti
atau ulama dalam mempermudah tugasnya. Sehingga dari metode ini bisa didapat
beberapa jalan untuk dapat mengenali apakah ini termasuk surah Makkiyah, di
antaranya adalah:
1. Setiap
surah yang di dalamnya mengandung “sajdah”.
2. Setiap
surah yang mengandung lafal “kalla”, lafal ini hanya terdapat dalam
separuh terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan dalam tiga puluh tiga kali dan
lima belas surah.
3. Setiap
surah yang mengandung seruan ya-ayyuhan naasu dan tidak mengandung ya-ayyuhalladzina
amanu, terkecuali surat al-hajj yang akhirnya terdapat ya-ayyuhalladzina
amanu irka’u wasjudu (QS al-hajj: 77). Namun demikian sebagian besar ulama
berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat makkiyah.
4. Setiap
surah yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali surah
Al-Baqarah.
5. Setiap
surah yang mengandung kisah Adam dan iblis, kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap
surah yang dibuka dengan huruf-huruf hijaiyah, seperti alif lam mim, alif
lam ra, ha mim dan lain-lain. Terkecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran,
sedangkan surat Ar-Ra’d masih diperselisihkan.[4]
7. Surah
yang ayatnya pendek-pendek.
8. Setiap
surah yang dimulai dengan qosam, ada lima belas surah yang dimulai dengan
qosam, yaitu Ash-Shaffat, Az-Zariat, Ath-Thur, An-Najm, Al-Mursalat, An-Naziat,
Al-Buruj, Ath-Thariq, Al-Fajr, As-Syams, Al-Lail, Adh-Dhuha, At-Tin, Al-Adiyat,
Al-Ashr.[5]
Sedangkan untuk bisa mengenali surah
Madaniyah bisa dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
1. Surah
yang menjelaskan faraidl dan hudud. Urwah bin az-zubair berkata: “Ayat-ayat
yang mengandung hukuman (had) atau kewajiban (faridhoh), sesungguhnya turun di
Madinah.” Sedangkan Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi berkata: “Setiap surah
yang disebut di dalamnya had-had (hudud) dan kewajiban-kewajiban (faraidh)
adalah Madaniyah.”
2. Setiap
surah yang mengandung penuturan orang munafik, kecuali surah Al-Ankabut.
Sebelas ayat yang pertama dari surah Al-Ankabut merupakan surah Makkiyah,
tetapi setelah itu ayat Madaniyah. Makki bin Abu Thalib Al-Qaisi berkata: “Setiap
surah yang di dalamnya disebut (mengenai) orang-orang munafik adalah
Madaniyah.” Yang lain menambahkan, kecuali pada surah Al-Ankabut.
3. Setiap
surah yang di dalamnya terdapat dialog antara ahli kitab[6],
seperti dapat kita dapati dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Imran, At-Taubah
dan lain-lain.[7]
4. Setiap
surah yang terdapat lafadz “Yaa ayyuhalladziina amanu.”
Dari
Al-Qamah, dari Abdullah ibn Mas’ud: “yaa ayyuhalladziina amanu” diturunkan
di Madinah, sedangkan yang memuat “ya ayyuhannas” turun di Makkah. Ibnu
Athiyah, Ibnu Al-Faras dan kawan-kawan berkata mengenai kalimat “yaa
ayyuhalladziina amanu” adalah benar, sedangkan mengenai “yaa ayyuhannas”
kadang-kadang juga terdapat pada surah Madaniyah.
Ada perbedaan lain yang dapat dipakai
untuk membedakan kedua surah tersebut, hanya saja perbedaan ini tertuju pada
makna daripada kedua surah tersebut turun,yaitu:
1. Surah
Makkiyah berusaha membangun pondasi keimanan penduduk dengan jalan menawarkan
konsep ketauhidan yang lebih masuk akal daripada praktek mereka yang cenderung
paganisme. Hingga Allah dalam surah Al-Hajj mencoba memberi kesempatan kepada
kafir Mekkah untuk menunjukkan kekuasaan tuhan atau berhala-berhala yang mereka
sembah untuk membuat lalat. QS.Al-Hajj ayat 73:
Artinya:
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan
itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika
lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.”
Taklid buta atas nenek
moyang juga ingin diluruskan oleh agama Islam, tidak semua apa yang telah
diwariskan oleh nenek moyang adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa
dipertanyakan ulang. Apalagi ini adalah masalah keimanan serta terkait dengan
peribadatan terhadap Tuhan. Dalam hal ini, Al-Quran mencoba menegur umat (tidak
sebatas penduduk Mekkah) yang cenderung taklid buta terhadap nenek moyang
mereka.
QS.Al-Baqarah ayat 170:
Artinya: Dan apabila
dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab: “(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?”.
2. Surah
Makkiyah mengajak penduduk Makkah untuk memikirkan ayat-ayat Allah. Baik yang
ada dalam diri mereka sendiri atau yang tergelar dalam alam raya. Selain itu
pula, penduduk Makkah diajak untuk memikirkan bila kehidupan ini tidak terputus
setelah kematian. Banyak anggapan yang diyakini oleh orang Makkah bila setelah
mati orang tidak akan bangkit kembali. Hal ini adalah sebuah fenomena wajar
yang ditemukan bukan hanya dalam penduduk Makkah. Mereka yang mempunyai
pendapat demikian biasanya terlalu mengagungkan akal pikiran serta logika
mereka, sedangkan umat beragama, meski yang disembah sebatas nenek moyang atau
dewa alam, tetap mempercayai bahwa setelah kematian akan ada alam lain yang
harus dijalani oleh manusia.
3. Surah
Makkiyah menegur kebiasaan penduduk Makkah yang cenderung mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan, seperti mengubur anak perempuan yang masih
hidup, perang hanya untuk menyelesaikan masalah kecil, pelanggaran kehormatan,
memakan harta anak yatim. Al-Qur’an mencoba mengadakan counter budaya dengan
menawarkan satu budaya yang lebih arif, dan tidak melanggar nilai humanisme.
4. Surah
Makkiyah terlihat pendek-pendek, hal mana karena penduduk Makkah termasuk
pintar gaya bahasanya, namun sombong, apabila Rasul membaca Al-Qur’an, mereka
tidak mau mendengarkan dan bahkan berteriak keras-keras, seperti dikisahkan
dalam Al-Qur’an, surah Al-Fushilat ayat 26:
Artinya:
Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan
sungguh-sungguh akan Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya
kamu dapat mengalahkan mereka”.
Berpanjang-panjang
dalam hal demikian tentu tidak efektif dalam dakwah Islam, justru dengan gaya
bahasa yang sarat makna akan membuat penduduk Makkah berpikir.
Untuk surah Madaniyah adalah, biasanya
kandungan isinya lebih berbicara pada:
1. Masalah
tasyri’, hukum-hukum perdata (sipil), pidana, ibadah dan muamalah.
Seperti
QS.Al-Baqarah ayat 178,180,183.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”(QS.Al-Baqarah: 178).
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.”(QS.Al-Baqarah: 180).
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(QS.Al-Baqarah: 183).
2. Surah
Madaniyah mencoba mengingatkan ahli kitab bahwa saat ini syariat Nabi Muhammad
yang benar, untuk itu ajakan Al-Qur’an terhadap ahli kitab supaya mereka mau
memeluk Islam. Selain itu pula, ditunjukkan sifat dan tabiat ahli kitab (dalam
hal ini cenderung kepada yahudi) yang kerap kali mengingkari nikmat Allah,
mengkhianati rasul mereka, dan sering kali meragukan janji Allah. Ahli kitab
tersebut kerap pula melakukan perbuatan licik dengan menghasut umat Islam, adu
domba, maka kemudian Al-Quran membeberkan segala kejahatan mereka beserta nenek
moyangnya, serta bentuk-bentuk pengingkaran yang telah dilakukan oleh generasi
terdahulu dari ahlul kitab ini.
Seperti
QS.Al-Baqarah 246, QS.Al-Imran 23-25:
Artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah nabi Musa,
yaitu ketika mereka Berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami
seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi
mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu
tidak akan berperang”. mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di
jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali
beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang
yang zalim.(QS.Al-Baqarah: 246).
Artinya:
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu
Al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya Kitab itu menetapkan
hukum diantara mereka; Kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka
selalu membelakangi (kebenaran).(QS.Al-Imran: 23).
Hal itu adalah Karena mereka mengaku:
“Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat
dihitung”. mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka
ada-adakan.(QS.Al-Imran:
24).
Bagaimanakah nanti apabila mereka kami
kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan
disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang
mereka tidak dianiaya (dirugikan).(QS.Al-Imran: 25).
3. Ayat-ayat
dalam surah Madaniyah panjang-panjang karena kondisi masyarakat Madinah dalam
segi kepandaian berbeda dengan masyarakat Mekkah.
4. Di
Madinah terdapat sekelompok kaum munafik yang membahayakan keberadaan umat
Islam, maka Al-Qur’an membeberkan kejahatan niat mereka, bahaya kaum munafik
bagi kaum muslim serta membuka tabir jahat yang selalu disembunyikan oleh kaum
munafik. Kaum munafik timbul di masyarakat Islam Madinah karena mereka merasa
tidak mampu menandingi kekuatan umat Islam saat itu, sehingga cara yang paling
tepat adalah dengan mengadu domba umat Islam dan menjadi munafik supaya
perlawanan mereka tidak diketahui. Berbeda dengan kondisi di Makkah, karena
pada saat tersebut umat muslim masih sedikit, dan lagi kaum musyrikin menantang
dengan terang-terangan karena merasa memegang kekuasaan.
Adapun
pembagian surah-surah ke dalam Makkiyah dan Madaniyah, sesuai dengan pendapat
jumhur (mayoritas ulama). Madaniyah memiliki 20 surah, yaitu:
1. Al-Baqarah
2. Ali
'Imran
3. An-Nisa'
4. Al-Ma'idah
5. Al-Anfal
6. At-Taubah
7. An-Nur
8. Al
–Ahzab
9. Muhammad
10. Al-Fath
11. Al-
Hujrat
12. Al-Hadid
13. Al-Mujadilah
14. Al-Hashr
15. Al-Mumtahinah
16. Al-Jumuah
17. Al-Munafiqun
18. Al-Talaq
19. At-Tahrim
20. An-Nasr
Dan ada perbedaan pendapat
pada 12 surah:
1.
Al-Fatihah
2.
Ar-Ra’d
3.
Ar-Rahman
4.
As-Saff
5.
At-Tagabun
6.
Al-Muthaffifin
7.
Al-Qadr
8.
Al-Bayyinah
9.
Az-Zalzalah
10.
Al-Ikhlas
11.
Al-Falaq
12.
An-Naas
Selain yang disebutkan di atas adalah
Makkiyah, yaitu 82 surah. Maka jumlah surah-surah di dalam Al-Qur’an itu semuanya 114 surah.[8]
C. Urgensi pengetahuan
tentang Makkiyah dan Madaniyah
An-Naisaburi dalam kitabnya “At-Tanbih
‘Ala Fadhl ‘Ulum Al-Qur’an”, memandang subjek Makkiyah dan Madaniyah
sebagai ilmu Al-Qur’an yang paling utama. Sementara itu, Manna’ Al-Qaththan
mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui Makkiyyah dan
Madaniyah sebagai berikut:
1.
Membantu dalam menafsirkan
Al-Qur’an, Pengetahuan tentang para mufasir dalam peristiwa diseputar turunnya
Al-Qur’an tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa keumuman redaksi ayat yang harus
menjadi patokan dan bukan kekhususan sebab. Dengan mengetahui kronologis
Al-Qur’an pula, seorang mufasir dapat memecahkan konsep nasikh-mansukh yang
hanya dapat diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.[9]
2.
Pedoman bagi langkah-langkah
dakwah, Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan yang relevan. Ungkapan
dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyah
memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyanpaikan dakwah agar relevan
dengan orang yang diserunya. Karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hati
dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Disamping
itu, setiap langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode tertentu, seiring
dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi Makkiyyah dan
Madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.[10]
3.
Memberi informasi tentang
sirah kenabian, Penahapan turunnya wahyu adalah seiring dengan perjalanan
dakwah nabi, baik di Mekkah atau di Madinah, mulai diturunkannya wahyu pertama
sampai diturunkannya wahyu terakhir.[11]
Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya
sudah tidak dapat diragukan lagi.
Selain itu, Mengetahui surah
Makkiyah dan Madaniyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting
karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
a.
Bukti ketinggian bahasa
Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan
mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
b.
Tampaknya hikmah pembuatan
syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara
berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan
mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
c.
Pendidikan terhadap para da’i
di jalan Allah dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam
tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling
penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
Pembeda antara nasikh dengan mansukh. Seandainya
terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makkiyah yang keduanya memenuhi
syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh
bagi ayat Makkiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makkiyah.
[1] Seperti diriwayatkan mengenai beberapa surah
dan ayat, misalnya surah al-An’am [6],
al-Fatihah [1] dan ayat
Kursi.
[2] Periksa al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an
oleh as-Suyuti, cetakan ke 3, al-Halabi, jilid 1,Halaman 8.
[3] Al-Khattan, Manna’ Khalil, (Mabahis fi
Ulumil Qur’an), cetakan ke 3, Halaman 73.
[4] Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul
Qur’an (Studi kompleksitas Al-Qur’an), Terj. Amirul Hasan dan Muhammad
Halabi, (Cet. I Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996). Halaman 173.
[5]
http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/12/14/makkiyah-dan-madaniyah.
[7] Teuku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, Halaman 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar