12 Desember 2013

MAKKIYAH DAN MADANIYYAH


MAKKIYAH DAN MADANIYAH

A.   Pengertian Makkiyyah dan Madaniyah
Makkiyah adalah segala ayat yang diturunkan di Makkah, termasuk di daerah-daerah sekitar Makkah seperti Arafah, Hudaibiah, dan lain-lain. Makkiyah juga segala ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah, sekalipun turunnya di Madinah. Selain itu, bentuk ayat Makkiyah berisi pembicaraan tentang penduduk Mekkah dan sekitarnya.
Madaniyah adalah segala ayat yang turun di Madinah, ataupun yang turun di sekitar Madinah seperti Badar, Uhud, dan lain-lain. Madaniyah juga dapat diartikan segala ayat yang turun setelah Rasulullah hijrah sekalipun turunnya di Mekkah. Madaniyah segala ayat yang isi pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya.
Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya at-Tanbih ‘ala fadli ‘Ulumil Qur’an: “Diantara ilmu-ilmu Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul Qur’an dan daerahnya,urutan turunnya di Makkah dan Madinah, tentang yang turunnya di Makkah tetapi hukumnya Madinah dan tentang yang turunnya di Madinah tetapi hukumnya Makkah, yang diturunkan di Makkah mengenai penduduk Madinah dan yang diturunkan di Madinah mengenai penduduk Makkah, yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah tetapi termasuk madani dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Jufah, Baitul Maqdis, Taif atau Hudaibiyyah. Demikian juga tentang yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang, diturunkan secara bersama-sama,[1] atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat Madaniyah dari surah-surah Makkiyah, ayat-ayat Makkiyah dalam surah-surah Madaniyah; yang dibawa dari Makkah ke Madinah dan yang dibawa dari Madinah ke Makkah; yang dibawa dari Madinah ke Abisinia, yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah dijelaskan, serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian mengatakan Makki. Itu semua ada dua puluh lima macam. Orang yang tidak mengetahuinya dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Qur’an.”[2]
Para ulama sangat memperhatikan Al-Qur’an dengan cermat. Mereka menertibkan surah-surah sesuai dengan tempat turunnya. Dan hal yang sangat terpenting dalam pembahasan Makkiyah dan Madaniyah adalah:
1.      Ayat yang diturunkan di Makkah.
2.      Ayat yang diturunkan di Madinah.
3.      Ayat yang diperselisihkan.
4.      Ayat-ayat Makkiyah dalam surah-surah Madaniyah.
5.      Ayat-ayat Madaniyah dalam surah-surah Makkiyah.
6.      Ayat yang diturunkan di Makkah sedang hukumnya Madaniyah.
7.      Ayat yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya Makkiyah.
8.      Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok Madaniyah.
9.      Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10.  Ayat yang dibawa dari Makkah ke Madinah.
11.  Ayat yang dibawa dari Madinah ke Makkah.
12.  Ayat yang turun di waktu malam dan di waktu siang.
13.  Ayat yang turun di musim panas dan di musim dingin.
14.  Ayat yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.
Inilah macam-macam ilmu Qur’an yang pokok, berkisar disekitar Makki dan Madani; oleh karenanya dinamakan “ilmul Makki dan Madani.”[3]
B.   Cara mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Metode untuk sampai dengan tepat terhadap pemberian identitas apakah ini surah Makkiyah atau Madaniyah, yang paling tepat dan selamat dari segala fitnah adalah dengan naqlis simai (kutipan lisan), yaitu suatu metode mengenali jenis surah yang disandarkan pada periwayatan dari salah satu sahabat periode wahyu, dan mereka menyaksikan turunnya ayat, atau dari para tabiin yang mendengar dari para sahabat sendiri.
Al-Baqilani berkata, sebagaimana dikutip kembali oleh Fahd bin Abdurrahman Arrumi:
“Pengetahuan tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah sungguh mengacu pada hafalan para sahabat dan tabiin. Tidak berasal dari nabi sendiri, meski berupa komentar. Sebab beliau tidak diperintahkan, dan Allah belum menjadikan hal tersebut suatu ilmu yang menjadi kewajiban umat. Maka kita diwajibkan mengetahui hal tersebut untuk bisa melihat sejarah nasikh mansukh, dan itu diketahui tanpa nash dari Rasul.”
Di antara contohnya adalah surah Al-Anfal 64:
Artinya: “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.”
Al-Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut diturunkan setelah Umar masuk Islam. Sehingga ayat ini diketahui sebagai ayat Makkiyah.
Metode yang kedua adalah qiyas ijtihadi, yaitu suatu upaya mengenali surah yang ada melalui karakteristik surah itu sendiri.  Karena tidak semua surah diketahui tempat turunnya, atau tidak semua surah ada periwayatan dari para sahabat terkait di manakah letak turun ayat tersebut. Pemahaman tentang kebudayaan masyarakat Mekkah dan Madinah serta penelitian sejarah yang valid sangat mendukung proses qiyas ijtihadi ini.
Hal itu sangat beralasan mengingat pengetahuan akan budaya dan sejarah suatu masyarakat mampu membantu peneliti atau ulama dalam mempermudah tugasnya. Sehingga dari metode ini bisa didapat beberapa jalan untuk dapat mengenali apakah ini termasuk surah Makkiyah, di antaranya adalah:
1.      Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah”.
2.      Setiap surah yang mengandung lafal “kalla”, lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan dalam tiga puluh tiga kali dan lima belas surah.
3.      Setiap surah yang mengandung seruan ya-ayyuhan naasu dan tidak mengandung ya-ayyuhalladzina amanu, terkecuali surat al-hajj yang akhirnya terdapat ya-ayyuhalladzina amanu irka’u wasjudu (QS al-hajj: 77). Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat makkiyah.
4.      Setiap surah yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu kecuali surah Al-Baqarah.
5.      Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan iblis, kecuali surat Al-Baqarah.
6.      Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf hijaiyah, seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dan lain-lain. Terkecuali surat Al-Baqarah dan Al-Imran, sedangkan surat Ar-Ra’d masih diperselisihkan.[4]
7.      Surah yang ayatnya pendek-pendek.
8.      Setiap surah yang dimulai dengan qosam, ada lima belas surah yang dimulai dengan qosam, yaitu Ash-Shaffat, Az-Zariat, Ath-Thur, An-Najm, Al-Mursalat, An-Naziat, Al-Buruj, Ath-Thariq, Al-Fajr, As-Syams, Al-Lail, Adh-Dhuha, At-Tin, Al-Adiyat, Al-Ashr.[5]

Sedangkan untuk bisa mengenali surah Madaniyah bisa dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Surah yang menjelaskan faraidl dan hudud. Urwah bin az-zubair berkata: “Ayat-ayat yang mengandung hukuman (had) atau kewajiban (faridhoh), sesungguhnya turun di Madinah.” Sedangkan Muhammad bin As-Saib Al-Kalbi berkata: “Setiap surah yang disebut di dalamnya had-had (hudud) dan kewajiban-kewajiban (faraidh) adalah Madaniyah.”
2.      Setiap surah yang mengandung penuturan orang munafik, kecuali surah Al-Ankabut. Sebelas ayat yang pertama dari surah Al-Ankabut merupakan surah Makkiyah, tetapi setelah itu ayat Madaniyah. Makki bin Abu Thalib Al-Qaisi berkata: “Setiap surah yang di dalamnya disebut (mengenai) orang-orang munafik adalah Madaniyah.” Yang lain menambahkan, kecuali pada surah Al-Ankabut.
3.      Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog antara ahli kitab[6], seperti dapat kita dapati dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Imran, At-Taubah dan lain-lain.[7]
4.      Setiap surah yang terdapat lafadz “Yaa ayyuhalladziina amanu.”
Dari Al-Qamah, dari Abdullah ibn Mas’ud: “yaa ayyuhalladziina amanu” diturunkan di Madinah, sedangkan yang memuat “ya ayyuhannas” turun di Makkah. Ibnu Athiyah, Ibnu Al-Faras dan kawan-kawan berkata mengenai kalimat “yaa ayyuhalladziina amanu” adalah benar, sedangkan mengenai “yaa ayyuhannas” kadang-kadang juga terdapat pada surah Madaniyah.

Ada perbedaan lain yang dapat dipakai untuk membedakan kedua surah tersebut, hanya saja perbedaan ini tertuju pada makna daripada kedua surah tersebut turun,yaitu:
1.      Surah Makkiyah berusaha membangun pondasi keimanan penduduk dengan jalan menawarkan konsep ketauhidan yang lebih masuk akal daripada praktek mereka yang cenderung paganisme. Hingga Allah dalam surah Al-Hajj mencoba memberi kesempatan kepada kafir Mekkah untuk menunjukkan kekuasaan tuhan atau berhala-berhala yang mereka sembah untuk membuat lalat. QS.Al-Hajj ayat 73:
Artinya: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
Taklid buta atas nenek moyang juga ingin diluruskan oleh agama Islam, tidak semua apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan ulang. Apalagi ini adalah masalah keimanan serta terkait dengan peribadatan terhadap Tuhan. Dalam hal ini, Al-Quran mencoba menegur umat (tidak sebatas penduduk Mekkah) yang cenderung taklid buta terhadap nenek moyang mereka.
QS.Al-Baqarah ayat 170:
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
2.      Surah Makkiyah mengajak penduduk Makkah untuk memikirkan ayat-ayat Allah. Baik yang ada dalam diri mereka sendiri atau yang tergelar dalam alam raya. Selain itu pula, penduduk Makkah diajak untuk memikirkan bila kehidupan ini tidak terputus setelah kematian. Banyak anggapan yang diyakini oleh orang Makkah bila setelah mati orang tidak akan bangkit kembali. Hal ini adalah sebuah fenomena wajar yang ditemukan bukan hanya dalam penduduk Makkah. Mereka yang mempunyai pendapat demikian biasanya terlalu mengagungkan akal pikiran serta logika mereka, sedangkan umat beragama, meski yang disembah sebatas nenek moyang atau dewa alam, tetap mempercayai bahwa setelah kematian akan ada alam lain yang harus dijalani oleh manusia.
3.      Surah Makkiyah menegur kebiasaan penduduk Makkah yang cenderung mengabaikan nilai-nilai  kemanusiaan, seperti mengubur anak perempuan yang masih hidup, perang hanya untuk menyelesaikan masalah kecil, pelanggaran kehormatan, memakan harta anak yatim. Al-Qur’an mencoba mengadakan counter budaya dengan menawarkan satu budaya yang lebih arif, dan tidak melanggar nilai humanisme.
4.      Surah Makkiyah terlihat pendek-pendek, hal mana karena penduduk Makkah termasuk pintar gaya bahasanya, namun sombong, apabila Rasul membaca Al-Qur’an, mereka tidak mau mendengarkan dan bahkan berteriak keras-keras, seperti dikisahkan dalam Al-Qur’an, surah Al-Fushilat ayat 26:
Artinya: Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”.
Berpanjang-panjang dalam hal demikian tentu tidak efektif dalam dakwah Islam, justru dengan gaya bahasa yang sarat makna akan membuat penduduk Makkah berpikir.

Untuk surah Madaniyah adalah, biasanya kandungan isinya lebih berbicara pada:
1.      Masalah tasyri’, hukum-hukum perdata (sipil), pidana, ibadah dan muamalah.
Seperti QS.Al-Baqarah ayat 178,180,183.
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”(QS.Al-Baqarah: 178).
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS.Al-Baqarah: 180).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah: 183).
2.      Surah Madaniyah mencoba mengingatkan ahli kitab bahwa saat ini syariat Nabi Muhammad yang benar, untuk itu ajakan Al-Qur’an terhadap ahli kitab supaya mereka mau memeluk Islam. Selain itu pula, ditunjukkan sifat dan tabiat ahli kitab (dalam hal ini cenderung kepada yahudi) yang kerap kali mengingkari nikmat Allah, mengkhianati rasul mereka, dan sering kali meragukan janji Allah. Ahli kitab tersebut kerap pula melakukan perbuatan licik dengan menghasut umat Islam, adu domba, maka kemudian Al-Quran membeberkan segala kejahatan mereka beserta nenek moyangnya, serta bentuk-bentuk pengingkaran yang telah dilakukan oleh generasi terdahulu dari ahlul kitab ini.
Seperti QS.Al-Baqarah 246, QS.Al-Imran 23-25:
Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah nabi Musa, yaitu ketika mereka Berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang zalim.(QS.Al-Baqarah: 246).
Artinya:  Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya Kitab itu menetapkan hukum diantara mereka; Kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).(QS.Al-Imran: 23).
Hal itu adalah Karena mereka mengaku: “Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat dihitung”. mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh apa yang selalu mereka ada-adakan.(QS.Al-Imran: 24).
Bagaimanakah nanti apabila mereka kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).(QS.Al-Imran: 25).
3.      Ayat-ayat dalam surah Madaniyah panjang-panjang karena kondisi masyarakat Madinah dalam segi kepandaian berbeda dengan masyarakat Mekkah.
4.      Di Madinah terdapat sekelompok kaum munafik yang membahayakan keberadaan umat Islam, maka Al-Qur’an membeberkan kejahatan niat mereka, bahaya kaum munafik bagi kaum muslim serta membuka tabir jahat yang selalu disembunyikan oleh kaum munafik. Kaum munafik timbul di masyarakat Islam Madinah karena mereka merasa tidak mampu menandingi kekuatan umat Islam saat itu, sehingga cara yang paling tepat adalah dengan mengadu domba umat Islam dan menjadi munafik supaya perlawanan mereka tidak diketahui. Berbeda dengan kondisi di Makkah, karena pada saat tersebut umat muslim masih sedikit, dan lagi kaum musyrikin menantang dengan terang-terangan karena merasa memegang kekuasaan.
Adapun pembagian surah-surah ke dalam Makkiyah dan Madaniyah, sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama). Madaniyah memiliki 20 surah, yaitu:

1.      Al-Baqarah
2.      Ali 'Imran
3.      An-Nisa'
4.      Al-Ma'idah
5.      Al-Anfal
6.      At-Taubah
7.      An-Nur
8.      Al –Ahzab
9.      Muhammad
10.  Al-Fath
11.  Al- Hujrat
12.  Al-Hadid
13.  Al-Mujadilah
14.  Al-Hashr
15.  Al-Mumtahinah
16.  Al-Jumuah
17.  Al-Munafiqun
18.  Al-Talaq
19.  At-Tahrim
20.  An-Nasr


Dan ada perbedaan pendapat pada 12 surah:


1.      Al-Fatihah
2.      Ar-Ra’d
3.      Ar-Rahman
4.      As-Saff
5.      At-Tagabun
6.      Al-Muthaffifin
7.      Al-Qadr
8.      Al-Bayyinah
9.      Az-Zalzalah
10.  Al-Ikhlas
11.  Al-Falaq
12.  An-Naas



Selain yang disebutkan di atas adalah Makkiyah, yaitu 82 surah. Maka jumlah surah-surah di dalam Al-Qur’an itu semuanya 114 surah.[8]

C.   Urgensi pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah
An-Naisaburi dalam kitabnya “At-Tanbih ‘Ala Fadhl ‘Ulum Al-Qur’an”, memandang subjek Makkiyah dan Madaniyah sebagai ilmu Al-Qur’an yang paling utama. Sementara itu, Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui Makkiyyah dan Madaniyah sebagai berikut:
1.    Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, Pengetahuan tentang para mufasir dalam peristiwa diseputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa keumuman redaksi ayat yang harus menjadi patokan dan bukan kekhususan sebab. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an pula, seorang mufasir dapat memecahkan konsep nasikh-mansukh yang hanya dapat diketahui melalui kronologi Al-Qur’an.[9]
2.    Pedoman bagi langkah-langkah dakwah, Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan yang relevan. Ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyanpaikan dakwah agar relevan dengan orang yang diserunya. Karena itu, dakwah islam berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang diserunya. Disamping itu, setiap langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi Makkiyyah dan Madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.[10]
3.    Memberi informasi tentang sirah kenabian, Penahapan turunnya wahyu adalah seiring dengan perjalanan dakwah nabi, baik di Mekkah atau di Madinah, mulai diturunkannya wahyu pertama sampai diturunkannya wahyu terakhir.[11] Al-Qur’an adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya sudah tidak dapat diragukan lagi.

Selain itu, Mengetahui surah Makkiyah dan Madaniyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
a.    Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
b.   Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
c.    Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
Pembeda antara nasikh dengan mansukh. Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makkiyah yang keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makkiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makkiyah.


[1]  Seperti diriwayatkan mengenai beberapa surah dan ayat, misalnya surah al-An’am [6],
    al-Fatihah [1] dan ayat Kursi.
[2]  Periksa al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an oleh as-Suyuti, cetakan ke 3, al-Halabi, jilid 1,Halaman 8.
[3]  Al-Khattan, Manna’ Khalil, (Mabahis fi Ulumil Qur’an), cetakan ke 3, Halaman 73.
[4]  Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an (Studi kompleksitas Al-Qur’an), Terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Cet. I Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996). Halaman 173.
[5]  http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/12/14/makkiyah-dan-madaniyah.
[6]  Al-Khattan, Manna’ Khalil, (Mabahis fi Ulumil Qur’an), cetakan ke 3, Halaman 87.
[7]  Teuku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Halaman 82.
[8]  Al-Khattan, Manna’ Khalil, (Mabahis fi Ulumil Qur’an), cetakan ke 3, Halaman 74.
[9]  Al-Khattan, Manna’ Khalil, (Mabahis fi Ulumil Qur’an), cetakan ke 3, Halaman 81.
[10]  Ibid
[11]  Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar