12 Desember 2013

RASMUL QUR'AN


RASMUL QUR’AN

A.   Pengertian Rasmul Qur'an
Istilah rasmul al-Quran terdiri dari dua kata yaitu rasm dan al-Qur'an. Kata rasm berarti bentuk tulisan. Dapat juga diartikan dengan `atsar dan alamah. Sedangkan al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantaraan malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat manusia secara mutawatir (oleh banyak orang) dan mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat al-Patiihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. (Chirzin, 1998: 106).
Jadi ilmu rasm Al-Qur'an yaitu ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf Al-Qur'an yang di lakukan dengan cara khusus baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang di gunakannya. Adapun yang di maksud rasm al-mushaf dalam bahasa yaitu : ketentuan atau orang yang di gunakan oleh usman ibn affan bersama sahabat-sahabat lainnya dalam Al-Qur'an berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya, yang terdapat dalam mushaf yang di kirim berbagai daerah dana kata serta mushaf al-iman yang berada di tangan usman ibn affan sendiri”.
Sementara ulama yang lebih mempersempit rasm al-mushaf yaitu :  apa yang di tulis oleh para sahabat Nabi  menyangkut sebagian lafaz-lafaz Al-Qur'an dalam mushaf usmani dengan pola tersendiri yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan Bahasa Arab.
Bagaimana ragam pendapat berkaitan permasalahan rasmul Qur'an. Apakah rasmul Qur'an merupakan tauqif (ketetapan) dari Nabi Muhammad SAW. ataukah bukan. Mengenai permasalahan ini, muncul dua pendapat di kalangan ulama. Kelompok pertama menyatakan bahwa, rasmul Quran adalah tauqifi dari Nabi Muhammad saw. Sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa, rasmul Quran adalah bukan taugifi dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut Kelompok pertama, bahwa rasmul Qur'an adalah tauqifi dan metode penulisannya dinyatakan sendiri oleh Rasulullah SAW. Pendapat ini dianut dan dipertahankan oleh Ibnu Mubarak yang sependapat dengan gurunya Abdul Aziz ad-Dabbagh. la menyatakan bahwa, tidak seujung rambutpun huruf al-Qur'an yang ditulis atas kehendak seorang sahabat nabi atau yang lainnya. (as-Shalih, 1990:361)
Sedangkan kelompok kedua berpandangan bahwa, rasmul Qur'an tersebut tidak masuk akal kalau dikatakan tauqifi. Pendapat ini dipelopori oleh Qadhi Abu al-Bagilani. la mengatakan bahwa mengenai tulisan al-Qur'an, Allah swt. sama sekali tidak mewajibkan kepada umat Islam dan tidak melarang para penulis al-Qur'an untuk menggunakan rasam selama itu (baca; Utsman bin Affan). Yang dikatakan kewajiban hanyalah diketahui dari berita-berita yang didengar. (as-Shalih, 1990:366)

1.   Pola Penulisam Al-Qur'an Dalam Mushaf Usmani
Terdapat beberapa pola penulisan Al-Qur'an versi mushaf usamni yang menyimpang dari kaidah penulisan bahasa arab.
a.    Penghilangan huruf (al-hadzf)
Al-Hadzf ini terdiri dari enam bagian, yaitu:
1)  Menghilangkan huruf, alif yaitu dari ya al-nida (يا ايها النس) dari ha' al-tanbih (ها نكم); dari نا dhamir(انجيكم) lajazh jalalah (الله) dari dua kata (الرحن) dan (سبحن); sesudah huruf lam ( خلنف ); sesudah dua huruf lam dari semua mustanna (رجلن); dari semua jama' shahih baik mudzakkar maupun muannats (سمعون) dan ( المعء منت) dari semua jamak yang satu pola dengan (مسجد) dan dari semua kata bilangan   (  ثلث) dari basmallah dan sebagainya.
2)  Menghilangkan huruf ya, vaitu huruf ya dibuang dari manqush munawwan (bertanwin), baik ketika berharakat rafa' maupun jar (غير ياغ ولاعاد); menghilangkan huruf ya' pada kata خافون، اتفون، اطيعون dan, selain yang dikecualikan.
3)  Menghilangkan huruf lam jika dalam keadaan idqham (اليل) dan (الدي) selain yang dikecualikan.
4)  Menghilangkan huruf waw, yaitu jika terletak bergandengan (فاو الى) dan (لا يستون).
Di samping itu, ada beberapa penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah. Misalnya penghilangan huruf alif pada kata dan menghilangkan ya' dari kata ابراهيم serta menghilangkan waw dari empat kata kerja (al-fil) يوم يدع، يمح الله، ويدع الا نسان   dan سندع الزبانيه

b.    Penambahan huruf(al-ziyadah)
Penambahan ini, yaitu alif setelah waw pada akhir isim jamak atau yang mempunyai hukum jamak. Misalnya اولو الالباب, ملا قوا ربهم dan  بنو اسرائيل Di samping  itu menambah alif setelah Hamzah marsumah waw (Hamzah yang terletak di atas tulisan waw). Misalnya, تا الله تفتوا  Yang asalnya di tulis تا الله تفتأ Demikian pada kata  ماتة, dalam ayat,فى كل سنبلة ما ئة حية  kata  الرسول Dalam ayat اطعنا الرسولا dan ,سبيل  dalam ayat  فا ضلونا السميلا. Demikian juga penambahan huruf ya pada kata  با يكمatau penambahan huruf waw pada kataاولو، اوليك، اولاء  Dan  اولات.

c.     Kaidah Hamzah
Yaitu apabila hamzah berharakat suku, maka di tulis dengan huruf yang beharakat sebelumnya. Misalnya انذن Dan اوتمن, selain yang dikecualikan. Adapun Hamzah yang berharakat, jika ia berada di awal kata dan bersambung dengan Hamzah itu huruf tambahan, maka ia harus di tulis dengan alif secara mutlak, baik berharakat fathah maupun berharakat kasrah. Misalnya فياي، ساصرف، اولوا، ايون selain yang dikecualikan. Sedangkan apabila Hamzah terletak di tengah maka ia tulis sesuai dengan huruf harakatnya, yakni fathah dengan alif dan kasrah dengan ya serta dlamah dengan waw. Misalnya  سئل، سال، تقرؤه Tetapi apabila huruf yang sebelum Hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan. Misalnya ملء الارض dan  الخبء selain yang dikecualikan.
Di samping itu, jika Hamzah itu terletak di ujung, Makkah ia di tulis dengan huruf dari jenis harakat huruf sebelumnya. Misalnya, kata  سبا، لؤلو dan شاطئ .

d.    Menggantikan Huruf Dengan Huruf Lain
Badl ini ada beberapa macam yaitu :
1)  Huruf alif di tulis dengan waw sebagai penghormatan pada kata الزكوة، الصلوة dan الحيوة selain yang dikecualikan.
2)  Huruf alif yang di tulis dengan huruf ya pada kata-kata seperti الى، انى، على Yang berartiكيف  (bagaimana)  بلى، متى dan لدى selain kata dalam surat Yusuf.
3)  Huruf alif di ganti dengan nun tawkid khafifah pada kata  اذن.
4)  Huruf ta’ ta’nits (ة) di ganti dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata رحمت sebagai yang terdapat dalam surat al-baqarah, al-araf, hud, maryam, al-rum dan al-zukhruf. Di samping itu huruf ta’ta’nits (ة) di tulis dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata نعمت sebagai terdapat dalam surat al-baqarah, ali imran, al maidah, ibrahim dan sebagainya.

e.    Menyambungkan dan memisahkan huruf (al washl dan al fashl)
Washl dan fashl banyak ragamnya yaitu :
1)  Kata ان dengan harakat fathah pada hamzahnya, di susul dengan  لا maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun, misalnyaالا  tidak di tulisان لا  kecuali pada kata ان لا تقولو  dan  ان لا تعبلوا.
2)  Kata من Yang bersambung dengan ما penulisannya disambungkan kata dan huruf nun pada mimnya tidak di tulis, seperti ممن kecuali pada kalimat  من ما ملكت ابما نكم Sebagai terdapat dalam Al-Qur'an surat an-nisa’ dan ar-rum dan kata ممن رزقناكم dalam surat al-munafiqun.
3)  Kata من yang bersambung            dengan من ditulis bersambung dengan menghilangkan-min, sehingga menjadi kata  ممن bukan من منَ
4)  Kata عن yang bersambung  dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan nun, sehingga menjadi  عمنbukan عن من  kecuali dalam kalimat  ويصر فه عن من يشاء
5)  Kata ان yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan nun, sehingga menjadi اما
6)  Kata أن yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan  menghilangkan nun, sehingga menjadi  اما
7)  Kata كل yang diiringi ما Di sambung sehingga menjadi كلما Kecuali pada firman Allah SWT  من كل ماسا لتموه dan   كل ما ردوا الى الفتنة

f.      Kata yang bisa dibaca dengan dua bunyi (ma’ fih qiratani)
Apabila ada dua ayat Al-Qur'an yang memiliki versi qiraat yang berbeda yang dimungkinkan ditulis dalam bentuk tulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka pola penulisannya sama dalam setiap Mushaf Ustmaniy. Dalam Mushaf Ustmaniy, kata tersebut di tulis dengan menghilangkan alif Misalnya, kalimat ملك يوم الدين  dan   يخد عون الله
Ayat-ayat tersebut boleh dibaca dengan menetapkan alif (dibaca dua harakat) dan bisa dibaca sebagai haknya lafzh (dibaca 1 harakat). Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka ditulis dalam Mushaf `Utsmaniy dengan rasm al-mushaf yang berbeda. Misalnya kalimat ووصبها ابراهيم بنيه Dalam sebagian mushaf ustmaiy di tulis dan di baca واوصى sedangkan dalam sebagian mushaf lainnya di tulis dan dibaca ووصَ Dan sebagainya.

2.   Hukum  Penulisan Al-Qur'an Dengan Rasmul Usmani
Pada ulama juga berbeda pendapat tentang hal ini apakah kaum muslimin di wajibkan mengikuti rasm usmani dalam penulisan Al-Qur'an ataukah di bolehkan dengan rasm imlai (pola penulisan konvensional).
Beberapa pendapat  para ulama mengenai hal ini yaitu sebagai berikut.
1.    Para ulama mengakui bahwa rasm usmani berhifat tauqifi wajib mengikuti rasm usmani dalam penulisan Al-Qur'an dan tidak boleh menyalahinya, sehubungan dengan itu ahmad ibn hambal berkata :
تحرم مخا لفة خط مصحف عثمان فى واو او الف اوياء اوعير ذالك
Haram hukumnya menyalahi rasm usmani (dalam penulisan Al-Qur'an) seperti huruf wawu alif, ya atau yang selainnya.
Sementara itu ketika Imam Malik di tanya mengenai penulisan Al-Qur'an dengan kaidah hijaiyah (kaidah imla’) Malik berkata :
لا أرى ذلك ولكن يكتب على الكتبه الاولى
“Saya tidak berpendapat demikian. Akan tetapi hendaklah di tulis menurut tulisan pertama.
2.    Para ulama tidak mengetahui bahwa rasm usmani itu bersifat tawqifi, tidak mesti kita mengikuti rasm usmani dalam penulisan Al-Qur'an, dengan kata lain kita di bolehkan menulisnya dengan rasm imlai’
Sehubungan dengan ini mereka menyatakan sebagai berikut :
“Sesungguhnya bentuk dan model tulisan tidak lain hanyalah merupakan tanda atau simbol, karena itu segala bentuk serta model tulisan Al-Qur'an yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat dibenarkan. Sedangkan rasm usmani yang menyalahi rasm imla’ sebagaimana kita kenal, menyulitkan banyak orang serta bisa mengakibatkan berat dan kacau (bagi pembacanya).
3.    Sebagian ulama berpendapat boleh bahkan wajib mengikuti rasm imlai’ dalam Al-Qur'an yang di runtuhkan bagi orang-orang awam dan tidak boleh menulisnya dengan rasm usmani. Namun rasm usmani pun wajib di pelihara dan di tertarikan.

3.   Faedah Penulisan-Penulisan Al-Qur'an Dengan Rasm Usmani
Penulisan Al-Qur'an dengan mengikuti atau berpedoman kepada rasm usmani yang di lakukan pada masa khalifah usman sangat berfaedah bagi umat Islam.
a.       Memelihara dan melestarikan penulisan al-Qur’an sesuai dengan pola penulisan al-Qur’an pada awal penulisan dan pembukuannya.
b.      Memberi kemungkinan pada lafazh yang sama untuk dibaca dengan versi qira’at yang berbeda, seperti dalam firman Allah berikut ini:
وما يخد عون الا انفسهم (البقرة 2:9)
Lafazh (يحد عون) dalam ayat di atas, bisa dibaca menurut versi qira'at lainnya yaitu Sementara kalau ditulis (يخا دعون) tidak memberi kemungkinan untuk di­baca (يخد عون)
c.       Kemungkinan dapat menunjukkan makna atau maksud yang tersembunyi, dalam ayat-ayat tertentu yang penulisannya menyalahi rasm imla'i, seperti dalam firman Allah berikut ini:
واسماء بنينا ها بأيد وانا لمو سعون (الذاربات \51:47)
Menurut sementara ulama. lafaz (با يد) ditulis dengan huruf ganda ى (الياء), karena memberi isyarat akan ke­besaran kekuasaan Allah SWT. khususnya dalam penciptaan langit dan alam semesta.
d.      Kemungkinan dapat menunjukkan keaslian harakat (syakl) suatu lafaz, seperti penambahan huruf  ayat و (الواو) pada ayat (سا وريكم دار الفاسقين) dan penambahan huruf  ى (الياء) pada ayat (وابتاءى دى الفربى).

4.   Perkembangan Penulisan Al-Qur’an
Sebagian disebutkan dalam sejarah bahwa mushaf ustmaniy yang di tulis oleh panitia empat (Abd Allah bin Zubair, Sa'id al-Rahman bin al-Hants dan Zaid bin Tsabit) belum bertitik dan ber­syakal. Hal ini dikarenakan tanda-tanda  seperti itu belum dikenal pada waktu itu. Sekalipun Al-Qur'an di tulis  demikian, akan tetapi dan kaum muslimin dapat membaca Al-Qur'an dengan benar. Mushaf utsmaniy sebagai di ungkapkan al ashari (w. 382 H) di baca oleh kaum muslimin selama sekitar 40 tahun.
Ketika Islam berkembang ke berbagai wilayah yang selanjutnya terjadi akulturasi budaya (perpaduan budaya) antara masyarakat Arab dan non-Arab, pertumbuhan tanda baca dalam penulisan Al-Qur'an me­rupakan hal yang sangat layak, khususnya untuk melestarikan bahasa Arab. Ziyad Ibn Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Muawiyyah (661 -680 M), salah seorang yang mempunyai atensi besar terhadap pembubuhan tanda baca (syakal).
Hal ini tidak terlepas dari pemantauannya terhadap kaum Muslim"" yang melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur'an. Misalnya, mereka melakukan kesalahan dalam membaca firman Allah SWT (Allah berlepas diri dari orang-orang Musyirikin). Melihat kenyataannya ini, ziyad  bin sammiyah meinta Abu al-Aswad al-Dualliy untuk memubuhkan tanda baca (syakal) dalam mushaf agar tidak terjadi kekeliruan dalam membaca Al-Qur'an di kalangan kaum Muslimin. Kendati demikian, Abu al-Aswad belum meletakkan syakal untuk setiap huruf, kecuali syakal huruf akhir saja.
Misalnya untuk tanda fathah. ia membubuhkan tan­da titik satu yang terletak di atas burnt  tanda kasrah  dengan membubuhkan titik satu di bawah huruf dan tanda dhamah  de­ngan titik satu yang terletak di antara bagian-bagian huruf Sedangkan untuk sukun (mati) tidak diberi tanda apa-apa.
Pertumbuhan tanda baca (syakal) selanjutnva dikembangkan oleh murid al-Dualliy, al-Khalil bin Ahmad Pada masa Abasiah. Ia telah membuat fathah, dengan membubuhkan huruf alif kecil  terletak di atas huruf, tanda/kasrah dengan membubuhkan huruf ya' kecil (ي) di bawah huruf (ي) dan tanda dhamah dengan membubuhkan tanda kepada huruf waw kecil (و) di atas huruf (و). Adapun tanda sukun (mati) yaitu dengan membubuhkan tanda kepala huruf ha (ح) yang terletak di atas huruf (ح) dan tasydid dengan membubuhkan tanda kepala huruf sin (س) yang terletak di atas huruf  (س).
Seiring dengan ekspansi Islam ke berbagai wilayah dan semakin banyaknya masyarakat non Arab rang masuk Islam, maka timbal upaya untuk membuat tanda-tanda huruf Al-Qur'an. Upaya tersebut tampak pada masa Khalifah Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M). Kemudian beliau menugaskan seorang ulama, al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi untuk menyusun tanda-tanda baca Al-qur’an (nugath al-'Ajam).
Al-Hajj, selan­jutnya menugaskan Nashr bin Ibn Ashim dan Yahya bin Ya’mur (kedua­nya murid al-Dualliy) untuk menyusun tanda-tanda baca tersebut. Atas titah al-Hajjaj kepala dua orang ahli ini, make terdapatlah tanda­-tanda huruf dalam Al-qur’an dengan cara membubuhkan tanda titik (.) pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan antara huruf yang satu dengan huruf yang lain. Misalnya huruf dal (د) dengan dzal (ذ) huruf ha (ه), jim(ج) dan kha (ح) dan sebagainya. Menurut sebuah riwayat, al-Hajjaj telah melakukan perubahan Rasm `Utsmaniy di 11 tempat.
Tokoh-tokoh lain yang menambahkan tanda huruf Al-qur’an adalah `Ubaidillah bin Zayyad (67 H), yang memerintahkan seorang Persia meletakkan huruf alif, yang pada Rasm `Utsmaniy justru dibuang misalnya, kata ملا ئكة  yang dalam Rasm `Utsmaniy ditulis مكئكة al-Zanjani, seorang warga Madinah, menciptakan bentuk melengkung.
Kemudian pengikut al-Dualliy menambahkan tanda-tanda lainnya yaitu dengan meletakkan garis horizontal di atas huruf yang terpisah, baik hamzah maupun bukan hamzah. Sebagai tanda alif washal, mereka meletakkan garis vertikal jika sebelumnya fathah dan ke bawah jika sebelumnya dhamah.
Adanya pembubuhan tanda-tanda huruf tersebut menimbulkan pro dan koma di kalangan ulama paling tidak sampai generasi tabi'in. Untuk selanjutnya, para ulama banyak yang mendukung upaya terse­but. Pertimbangan mereka, banyak kaum Muslimin yang merasa ke­sulitan membaca Al-qur’an disebabkan mereka bukan penduduk di wilayah Arab.

B.   Macam-macam Rasmul Qur’an
1.    Rasm  Qiyasi, yaitu  menuliskan kalimat sesuai dengan mperhatikan  waktu memulai dan  berhenti  pada kalimat tersebut.
2.    Rasm Arudi, yaitu cara menuliskan kalimat-kalimat arab di sesuaikan dengan wazan sya’ir-sya’ir  Arab.
3.    Rasm Usmani, yaitu cara penulisan Al-Qur’an yang telah di setujui oleh  sahabat Utsman bin Affan  pada waktu  penulisan  mushaf.

C.    Pengertian Qiraat Al-Quran
Syeikh Solah Khalifa menerangkan sejelasnya pengenalan, sejarah dan kaedah pembacaan Riwayat Hafsin ‘an Aa’sim dan  Riwayat Syukbah serta bagaimana untuk mengetahui qiraat al-Quran merangkumi selain dari pada yang sering  digunakan di Nusantara.
“Secara etimologi, perkataan qiraat adalah dalam bentuk masdar dari perkataan qaraa yang bermaksud bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat banyak pendapat ulama mengenai pengertian makna qiraat ini. Menurut Syeikh al-Dimyathi, qiraat adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz al-Quran.”
“Menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qiraat adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbezaan ahli qiraat, seperti bersangkutan dengan aspek bahasa, i’rab, isbat, fasal dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan, Menurutnya, berdasarkan definisi itu,  jelas qiraat al-Quran berasal daripada Nabi SAW. Dimaksudkan qiraat dalam perbahasan ini, iaitu cara pengucapan lafaz- al-Quran sebagaimana diucapkan Nabi SAW atau sebagaimana yang diucapkan sahabat di hadapan Nabi lalu Baginda bersetuju dengannya dan Qiraat al-Quran pula diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah mahupun taqririyah.

1.   Munculnya perbedaan qiraat
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama mengenai apa sebenarnya yang menyebabkan perbezaan tersebut. Berikut adalah pendapat-pendapat para ulama: Sebagaimana ulama berpendapat bahawa perbezaan qiraat al-Quran disebabkan kerana perbezaan qiraat Nabi SAW, ertinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Quran, Baginda membacakannya dalam berbagai versi qiraat. Contoh: Nabi SAW pernah membaca ayat 76 surah ar-Rahman dengan qiraat yang berbeda.
Pendapat lain mengatakan: Perbezaan pendapat disebabkan adanya takrir Nabi SAW terhadap berbagai qiraat yang berlaku dalam kalangan kaum Muslimin pada zaman itu.
Ada pendapat mengatakan, perbezaan qiraat disebabkan kerana perbezaannya qiraat yang diturunkan oleh ALLAH SWT kepada Nabi SAW melalui perantaraan malaikat Jibrail.
Jumhur ulama ahli qiraat berpendapat bahawa perbezaan qiraat adalah disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW berbagai versi qiraat yang ada. Sebahagian ulama berpendapat, perbezaan qiraat disebabkan adanya perbezaan dialek bahasa dalam kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Quran.“Kesimpulannya, qiraat bukanlah hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber daripada Nabi SAW. Namun untuk membezakan mana qiraat yang berasal daripada Baginda dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan syarat-syarat tertentu.
“Ada tiga syarat bagi qiraat al-Quran untuk digolongkan sebagai qiraat sahih, yaitu:
a)   Harus memiliki sanad yang sahih.
b)  Harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Usmani.
c)   Harus sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Jika salah satu daripada syarat ini tidak dipenuhi, maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah,” ulas Syeikh Solah Khalifa yang berasal dari Mesir ini.

2.   Kelebihan mempelajari qiraat
Dengan berbagai variasi qiraat, maka banyak sekali manfaat atau faedah di antaranya: menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab ALLAH SWT daripada perubahan dan penyimpangan, meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Quran serta dapat membuktikan kemukjizatan al-Quran dari segi kepadatan makna, kerana setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syarak tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar