RASMUL
QUR’AN
A. Pengertian
Rasmul Qur'an
Istilah rasmul al-Quran terdiri dari
dua kata yaitu rasm dan al-Qur'an. Kata rasm berarti bentuk tulisan. Dapat juga
diartikan dengan `atsar dan alamah. Sedangkan al-Qur'an adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantaraan
malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada umat
manusia secara mutawatir (oleh banyak orang) dan mempelajarinya merupakan suatu
ibadah, dimulai dengan surat al-Patiihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
(Chirzin, 1998: 106).
Jadi ilmu rasm Al-Qur'an yaitu ilmu
yang mempelajari tentang penulisan mushaf Al-Qur'an yang di lakukan dengan cara
khusus baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang di
gunakannya. Adapun yang di maksud rasm al-mushaf dalam bahasa yaitu : ketentuan
atau orang yang di gunakan oleh usman ibn affan bersama sahabat-sahabat lainnya
dalam Al-Qur'an berkaitan dengan susunan huruf-hurufnya, yang terdapat dalam
mushaf yang di kirim berbagai daerah dana kata serta mushaf al-iman yang berada
di tangan usman ibn affan sendiri”.
Sementara ulama
yang lebih mempersempit rasm al-mushaf yaitu : apa yang di tulis oleh
para sahabat Nabi menyangkut sebagian
lafaz-lafaz Al-Qur'an dalam mushaf usmani dengan pola tersendiri yang menyalahi
kaidah-kaidah penulisan Bahasa Arab.
Bagaimana ragam pendapat berkaitan
permasalahan rasmul Qur'an. Apakah rasmul Qur'an merupakan tauqif
(ketetapan) dari Nabi Muhammad SAW. ataukah bukan. Mengenai permasalahan ini,
muncul dua pendapat di kalangan ulama. Kelompok pertama menyatakan bahwa,
rasmul Quran adalah tauqifi dari Nabi Muhammad saw. Sedangkan kelompok
kedua menyatakan bahwa, rasmul Quran adalah bukan taugifi dari Nabi Muhammad
SAW.
Menurut Kelompok pertama, bahwa rasmul
Qur'an adalah tauqifi dan metode penulisannya dinyatakan sendiri oleh
Rasulullah SAW. Pendapat ini dianut dan dipertahankan oleh Ibnu Mubarak yang
sependapat dengan gurunya Abdul Aziz ad-Dabbagh. la
menyatakan bahwa, tidak seujung rambutpun huruf al-Qur'an yang ditulis atas
kehendak seorang sahabat nabi atau yang lainnya. (as-Shalih, 1990:361)
Sedangkan kelompok kedua berpandangan
bahwa, rasmul Qur'an tersebut tidak masuk akal kalau dikatakan tauqifi.
Pendapat ini dipelopori oleh Qadhi Abu al-Bagilani. la
mengatakan bahwa mengenai tulisan al-Qur'an, Allah swt. sama sekali tidak
mewajibkan kepada umat Islam dan tidak melarang para penulis al-Qur'an untuk
menggunakan rasam selama itu (baca; Utsman bin Affan). Yang dikatakan kewajiban
hanyalah diketahui dari berita-berita yang didengar. (as-Shalih, 1990:366)
1. Pola
Penulisam Al-Qur'an Dalam Mushaf Usmani
Terdapat beberapa pola penulisan
Al-Qur'an versi mushaf usamni yang menyimpang dari kaidah penulisan bahasa
arab.
a. Penghilangan
huruf (al-hadzf)
Al-Hadzf
ini terdiri dari enam bagian, yaitu:
1) Menghilangkan huruf, alif yaitu dari ya al-nida
(يا ايها النس) dari ha' al-tanbih (ها
نكم); dari نا dhamir(انجيكم) lajazh jalalah (الله) dari dua kata (الرحن) dan (سبحن); sesudah huruf lam ( خلنف ); sesudah dua huruf lam
dari semua mustanna (رجلن); dari semua jama' shahih
baik mudzakkar maupun muannats (سمعون) dan ( المعء
منت) dari semua jamak yang satu pola
dengan (مسجد) dan dari semua kata
bilangan ( ثلث) dari basmallah dan sebagainya.
2) Menghilangkan huruf ya, vaitu huruf ya
dibuang dari manqush munawwan (bertanwin), baik ketika berharakat rafa'
maupun jar (غير ياغ ولاعاد); menghilangkan huruf ya' pada
kata خافون، اتفون،
اطيعون dan, selain yang dikecualikan.
4) Menghilangkan
huruf waw, yaitu jika terletak bergandengan (فاو
الى) dan (لا
يستون).
Di samping itu, ada
beberapa penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah. Misalnya penghilangan
huruf alif pada kata dan menghilangkan ya' dari kata ابراهيم serta menghilangkan waw dari empat kata kerja (al-fil)
يوم يدع، يمح الله، ويدع الا نسان dan سندع
الزبانيه
b. Penambahan
huruf(al-ziyadah)
Penambahan ini, yaitu alif setelah waw pada
akhir isim jamak atau yang mempunyai hukum jamak. Misalnya اولو
الالباب, ملا
قوا ربهم dan بنو
اسرائيل Di samping
itu menambah alif setelah Hamzah marsumah waw
(Hamzah yang terletak di atas tulisan waw). Misalnya, تا الله تفتوا
Yang
asalnya di tulis تا الله تفتأ Demikian pada kata ماتة, dalam ayat,فى
كل سنبلة ما ئة حية kata الرسول Dalam ayat اطعنا الرسولا dan ,سبيل
dalam ayat فا
ضلونا السميلا.
Demikian juga penambahan huruf ya pada kata با يكمatau penambahan huruf waw
pada kataاولو، اوليك،
اولاء Dan اولات.
c. Kaidah
Hamzah
Yaitu apabila hamzah
berharakat suku, maka di tulis dengan huruf yang beharakat sebelumnya. Misalnya
انذن Dan اوتمن, selain yang dikecualikan. Adapun Hamzah yang
berharakat, jika ia berada di awal kata dan bersambung dengan Hamzah itu huruf
tambahan, maka ia harus di tulis dengan alif secara mutlak, baik berharakat fathah
maupun berharakat kasrah. Misalnya فياي،
ساصرف، اولوا، ايون selain yang dikecualikan. Sedangkan apabila Hamzah terletak di tengah maka ia tulis
sesuai dengan huruf harakatnya, yakni fathah
dengan alif dan kasrah dengan ya serta dlamah dengan waw. Misalnya سئل،
سال، تقرؤه
Tetapi apabila huruf yang sebelum Hamzah
itu sukun, maka tidak ada tambahan.
Misalnya ملء الارض dan الخبء selain yang dikecualikan.
Di samping itu, jika Hamzah
itu terletak di ujung, Makkah ia di tulis dengan huruf dari jenis harakat huruf
sebelumnya. Misalnya, kata سبا،
لؤلو dan شاطئ .
d. Menggantikan
Huruf Dengan Huruf Lain
Badl
ini ada beberapa macam yaitu :
1) Huruf
alif di tulis dengan waw sebagai penghormatan pada kata الزكوة،
الصلوة dan الحيوة
selain
yang dikecualikan.
2) Huruf alif yang
di tulis dengan huruf ya pada
kata-kata seperti الى، انى، على Yang berartiكيف (bagaimana) بلى، متى dan لدى selain kata dalam surat Yusuf.
3) Huruf
alif di ganti dengan nun tawkid khafifah
pada kata اذن.
4) Huruf ta’ ta’nits (ة) di ganti dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata رحمت sebagai yang terdapat dalam surat
al-baqarah, al-araf, hud, maryam, al-rum dan al-zukhruf. Di samping itu huruf
ta’ta’nits (ة) di
tulis dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata نعمت sebagai terdapat dalam surat
al-baqarah, ali imran, al maidah, ibrahim dan sebagainya.
e. Menyambungkan
dan memisahkan huruf (al washl dan al fashl)
Washl
dan fashl banyak ragamnya yaitu :
1) Kata ان dengan harakat fathah pada
hamzahnya, di susul dengan لا maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun,
misalnyaالا tidak di tulisان
لا kecuali pada kata ان
لا تقولو
dan ان
لا تعبلوا.
2) Kata من Yang bersambung dengan ما penulisannya disambungkan kata dan
huruf nun pada mimnya tidak di tulis,
seperti ممن kecuali pada kalimat من
ما ملكت ابما نكم
Sebagai terdapat dalam Al-Qur'an surat an-nisa’ dan ar-rum dan kata ممن
رزقناكم
dalam surat al-munafiqun.
3) Kata
من yang
bersambung
dengan من ditulis bersambung dengan menghilangkan-min, sehingga
menjadi kata ممن bukan من منَ
4) Kata عن yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan
menghilangkan nun, sehingga menjadi عمنbukan عن من kecuali dalam kalimat ويصر
فه عن من يشاء
5) Kata
ان yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan nun, sehingga
menjadi اما
6) Kata
أن yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan nun,
sehingga menjadi اما
7) Kata كل yang diiringi ما Di sambung sehingga menjadi كلما Kecuali pada firman Allah SWT
من كل ماسا لتموه dan كل
ما ردوا الى الفتنة
f.
Kata
yang bisa dibaca dengan dua bunyi (ma’ fih qiratani)
Apabila ada dua
ayat Al-Qur'an yang memiliki versi qiraat yang berbeda yang dimungkinkan
ditulis dalam bentuk tulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka pola
penulisannya sama dalam setiap Mushaf Ustmaniy. Dalam Mushaf Ustmaniy,
kata tersebut di tulis dengan menghilangkan alif Misalnya, kalimat ملك
يوم الدين
dan يخد عون الله
Ayat-ayat tersebut
boleh dibaca dengan menetapkan alif (dibaca dua harakat) dan bisa dibaca
sebagai haknya lafzh (dibaca 1 harakat). Akan
tetapi, apabila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka
ditulis dalam Mushaf `Utsmaniy dengan rasm al-mushaf yang berbeda. Misalnya
kalimat ووصبها ابراهيم
بنيه Dalam sebagian
mushaf ustmaiy di tulis dan di baca واوصى sedangkan dalam sebagian mushaf lainnya di tulis dan dibaca ووصَ Dan sebagainya.
2. Hukum
Penulisan Al-Qur'an Dengan Rasmul Usmani
Pada ulama juga
berbeda pendapat tentang hal ini apakah kaum muslimin di wajibkan mengikuti
rasm usmani dalam penulisan Al-Qur'an ataukah di bolehkan dengan rasm imlai
(pola penulisan konvensional).
Beberapa pendapat para ulama
mengenai hal ini yaitu sebagai berikut.
1. Para ulama mengakui bahwa rasm usmani berhifat tauqifi
wajib mengikuti rasm usmani dalam penulisan Al-Qur'an dan tidak boleh
menyalahinya, sehubungan dengan itu ahmad ibn hambal berkata :
تحرم مخا لفة خط مصحف عثمان فى واو او
الف اوياء اوعير ذالك
“Haram
hukumnya menyalahi rasm usmani (dalam penulisan Al-Qur'an) seperti huruf
wawu alif, ya atau yang selainnya.
Sementara
itu ketika Imam Malik di tanya mengenai penulisan Al-Qur'an dengan kaidah
hijaiyah (kaidah imla’) Malik berkata :
لا أرى ذلك ولكن
يكتب على الكتبه الاولى
“Saya
tidak berpendapat demikian. Akan tetapi hendaklah di tulis menurut tulisan
pertama.
2. Para ulama tidak mengetahui bahwa rasm usmani itu
bersifat tawqifi, tidak mesti kita mengikuti rasm usmani dalam penulisan
Al-Qur'an, dengan kata lain kita di bolehkan menulisnya dengan rasm imlai’
Sehubungan
dengan ini mereka menyatakan sebagai berikut :
“Sesungguhnya bentuk dan model tulisan
tidak lain hanyalah merupakan tanda atau simbol, karena itu segala bentuk serta
model tulisan Al-Qur'an yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat
dibenarkan. Sedangkan rasm usmani yang menyalahi rasm imla’ sebagaimana kita
kenal, menyulitkan banyak orang serta bisa mengakibatkan berat dan kacau (bagi
pembacanya).
3. Sebagian ulama berpendapat boleh bahkan wajib mengikuti
rasm imlai’ dalam Al-Qur'an yang di runtuhkan bagi orang-orang awam dan tidak
boleh menulisnya dengan rasm usmani. Namun rasm usmani pun wajib
di pelihara dan di tertarikan.
3. Faedah
Penulisan-Penulisan Al-Qur'an Dengan Rasm Usmani
Penulisan
Al-Qur'an dengan mengikuti atau berpedoman kepada rasm usmani yang di lakukan
pada masa khalifah usman sangat berfaedah bagi umat Islam.
a.
Memelihara
dan melestarikan penulisan al-Qur’an sesuai dengan pola penulisan al-Qur’an
pada awal penulisan dan pembukuannya.
b. Memberi
kemungkinan pada lafazh yang sama untuk dibaca dengan versi qira’at yang
berbeda, seperti dalam firman Allah berikut ini:
وما
يخد عون الا انفسهم (البقرة
2:9)
Lafazh (يحد
عون) dalam ayat di
atas, bisa dibaca menurut versi qira'at lainnya yaitu Sementara kalau ditulis (يخا
دعون) tidak memberi
kemungkinan untuk dibaca (يخد عون)
c. Kemungkinan
dapat menunjukkan makna atau maksud yang tersembunyi, dalam ayat-ayat tertentu
yang penulisannya menyalahi rasm imla'i, seperti dalam firman Allah berikut
ini:
واسماء بنينا ها بأيد وانا لمو سعون
(الذاربات \51:47)
Menurut sementara ulama. lafaz (با
يد) ditulis dengan
huruf ganda ى (الياء), karena memberi isyarat akan kebesaran kekuasaan Allah SWT.
khususnya dalam penciptaan langit dan alam semesta.
d.
Kemungkinan
dapat menunjukkan keaslian harakat (syakl) suatu lafaz, seperti penambahan
huruf ayat و (الواو) pada ayat (سا
وريكم دار الفاسقين)
dan penambahan huruf ى (الياء) pada ayat (وابتاءى
دى الفربى).
4. Perkembangan
Penulisan Al-Qur’an
Sebagian disebutkan dalam
sejarah bahwa mushaf ustmaniy yang di tulis oleh panitia empat (Abd Allah bin
Zubair, Sa'id al-Rahman
bin al-Hants dan Zaid bin Tsabit) belum bertitik dan bersyakal. Hal ini
dikarenakan tanda-tanda seperti itu belum dikenal pada waktu
itu. Sekalipun Al-Qur'an di tulis demikian, akan tetapi dan kaum muslimin
dapat membaca Al-Qur'an dengan benar. Mushaf utsmaniy sebagai di ungkapkan al
ashari (w. 382 H) di baca oleh kaum muslimin selama sekitar 40 tahun.
Ketika Islam berkembang ke berbagai wilayah yang
selanjutnya terjadi akulturasi budaya (perpaduan budaya) antara masyarakat Arab
dan non-Arab, pertumbuhan tanda baca dalam penulisan Al-Qur'an merupakan hal
yang sangat layak, khususnya untuk melestarikan bahasa Arab. Ziyad Ibn
Samiyyah, Gubernur Basrah pada masa pemerintahan Muawiyyah (661 -680 M), salah
seorang yang mempunyai atensi besar terhadap pembubuhan tanda baca (syakal).
Hal
ini tidak terlepas dari pemantauannya terhadap kaum Muslim"" yang
melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur'an. Misalnya, mereka melakukan
kesalahan dalam membaca firman Allah SWT (Allah berlepas diri dari orang-orang
Musyirikin). Melihat kenyataannya ini, ziyad bin sammiyah meinta Abu
al-Aswad al-Dualliy untuk memubuhkan tanda baca (syakal) dalam mushaf agar
tidak terjadi kekeliruan dalam membaca Al-Qur'an di kalangan kaum Muslimin.
Kendati demikian, Abu al-Aswad belum meletakkan syakal untuk setiap huruf,
kecuali syakal huruf akhir saja.
Misalnya untuk tanda fathah. ia membubuhkan tanda titik
satu yang terletak di atas burnt tanda
kasrah dengan membubuhkan titik satu di
bawah huruf dan tanda dhamah dengan
titik satu yang terletak di antara bagian-bagian huruf Sedangkan untuk sukun
(mati) tidak diberi tanda apa-apa.
Pertumbuhan
tanda baca (syakal) selanjutnva dikembangkan oleh murid al-Dualliy, al-Khalil
bin Ahmad Pada masa Abasiah. Ia telah membuat fathah, dengan membubuhkan huruf
alif kecil terletak di atas huruf,
tanda/kasrah dengan membubuhkan huruf ya' kecil (ي) di bawah huruf (ي) dan tanda dhamah dengan membubuhkan tanda kepada huruf waw
kecil (و) di
atas huruf (و). Adapun tanda sukun (mati) yaitu dengan membubuhkan
tanda kepala huruf ha (ح) yang terletak di atas huruf (ح) dan tasydid dengan membubuhkan tanda kepala huruf sin
(س) yang terletak di atas huruf (س).
Seiring dengan ekspansi
Islam ke berbagai wilayah dan semakin banyaknya masyarakat
non Arab rang masuk Islam, maka timbal upaya untuk membuat tanda-tanda huruf
Al-Qur'an. Upaya tersebut tampak pada masa Khalifah Abd al-Malik bin Marwan
(685-705 M). Kemudian beliau menugaskan seorang ulama, al-Hajjaj bin Yusuf
Al-Tsaqafi untuk menyusun tanda-tanda baca Al-qur’an (nugath al-'Ajam).
Al-Hajj, selanjutnya menugaskan Nashr
bin Ibn Ashim dan Yahya bin Ya’mur (keduanya murid al-Dualliy) untuk menyusun
tanda-tanda baca tersebut. Atas titah al-Hajjaj kepala dua orang ahli ini, make
terdapatlah tanda-tanda huruf dalam Al-qur’an dengan cara membubuhkan tanda
titik (.) pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan antara huruf yang satu
dengan huruf yang lain. Misalnya huruf dal (د) dengan dzal (ذ) huruf ha (ه), jim(ج) dan kha (ح) dan sebagainya. Menurut sebuah riwayat, al-Hajjaj telah
melakukan perubahan Rasm `Utsmaniy di 11 tempat.
Tokoh-tokoh lain
yang menambahkan tanda huruf Al-qur’an adalah `Ubaidillah bin Zayyad (67 H),
yang memerintahkan seorang Persia meletakkan huruf alif, yang pada Rasm `Utsmaniy justru dibuang misalnya, kata ملا
ئكة yang dalam Rasm `Utsmaniy
ditulis مكئكة al-Zanjani, seorang warga Madinah,
menciptakan bentuk melengkung.
Kemudian
pengikut al-Dualliy menambahkan tanda-tanda lainnya yaitu dengan meletakkan
garis horizontal di atas huruf yang terpisah, baik hamzah maupun bukan hamzah.
Sebagai tanda alif washal, mereka meletakkan garis vertikal jika
sebelumnya fathah dan ke bawah jika sebelumnya dhamah.
Adanya
pembubuhan tanda-tanda huruf tersebut menimbulkan pro dan koma di kalangan
ulama paling tidak sampai generasi tabi'in. Untuk selanjutnya, para ulama
banyak yang mendukung upaya tersebut. Pertimbangan mereka, banyak kaum Muslimin
yang merasa kesulitan membaca Al-qur’an disebabkan mereka bukan penduduk di
wilayah Arab.
B. Macam-macam Rasmul Qur’an
1. Rasm Qiyasi, yaitu
menuliskan kalimat sesuai dengan mperhatikan waktu memulai dan berhenti
pada kalimat tersebut.
2. Rasm
Arudi, yaitu cara menuliskan kalimat-kalimat arab di sesuaikan dengan wazan
sya’ir-sya’ir Arab.
3. Rasm
Usmani, yaitu cara penulisan Al-Qur’an yang telah di setujui oleh sahabat Utsman bin Affan pada waktu
penulisan mushaf.
C. Pengertian Qiraat Al-Quran
Syeikh Solah Khalifa menerangkan sejelasnya pengenalan,
sejarah dan kaedah pembacaan Riwayat Hafsin ‘an Aa’sim dan Riwayat
Syukbah serta bagaimana untuk mengetahui qiraat al-Quran merangkumi selain dari
pada yang sering digunakan di Nusantara.
“Secara etimologi, perkataan qiraat adalah dalam bentuk
masdar dari perkataan qaraa yang bermaksud bacaan. Sedangkan menurut
terminologi, terdapat banyak pendapat ulama mengenai pengertian makna qiraat
ini. Menurut Syeikh al-Dimyathi, qiraat adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui
cara pengucapan lafaz al-Quran.”
“Menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal,
qiraat adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbezaan ahli
qiraat, seperti bersangkutan dengan aspek bahasa, i’rab, isbat, fasal dan
lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan, Menurutnya, berdasarkan
definisi itu, jelas qiraat al-Quran berasal daripada Nabi SAW.
Dimaksudkan qiraat dalam perbahasan ini, iaitu cara pengucapan lafaz- al-Quran
sebagaimana diucapkan Nabi SAW atau sebagaimana yang diucapkan sahabat di
hadapan Nabi lalu Baginda bersetuju dengannya dan Qiraat al-Quran pula
diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah mahupun
taqririyah.
1. Munculnya perbedaan qiraat
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama
mengenai apa sebenarnya yang menyebabkan perbezaan tersebut. Berikut adalah
pendapat-pendapat para ulama: Sebagaimana
ulama berpendapat bahawa perbezaan qiraat al-Quran disebabkan kerana perbezaan
qiraat Nabi SAW, ertinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Quran, Baginda
membacakannya dalam berbagai versi qiraat. Contoh: Nabi SAW pernah membaca ayat
76 surah ar-Rahman dengan qiraat yang berbeda.
Pendapat lain mengatakan: Perbezaan pendapat disebabkan
adanya takrir Nabi SAW terhadap berbagai qiraat yang berlaku dalam kalangan
kaum Muslimin pada zaman itu.
Ada pendapat mengatakan, perbezaan
qiraat disebabkan kerana perbezaannya qiraat yang diturunkan oleh ALLAH SWT
kepada Nabi SAW melalui perantaraan malaikat Jibrail.
Jumhur ulama ahli qiraat berpendapat bahawa
perbezaan qiraat adalah disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW
berbagai versi qiraat yang ada. Sebahagian ulama berpendapat, perbezaan qiraat
disebabkan adanya perbezaan dialek bahasa dalam kalangan bangsa Arab pada masa
turunnya al-Quran.“Kesimpulannya, qiraat bukanlah hasil ijtihad para ulama,
karena ia bersumber daripada Nabi SAW. Namun untuk membezakan mana qiraat yang berasal daripada
Baginda dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan syarat-syarat tertentu.
“Ada tiga syarat bagi qiraat al-Quran untuk digolongkan
sebagai qiraat sahih, yaitu:
a) Harus memiliki sanad yang
sahih.
b) Harus sesuai dengan rasm
mushaf salah satu mushaf Usmani.
c) Harus sesuai dengan kaedah
bahasa Arab. Jika salah satu daripada syarat ini tidak dipenuhi, maka qiraat itu
dinamakan qiraat yang lemah,” ulas Syeikh Solah Khalifa yang berasal dari Mesir
ini.
2. Kelebihan mempelajari qiraat
Dengan
berbagai variasi qiraat, maka banyak sekali manfaat atau faedah di antaranya:
menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab ALLAH SWT daripada
perubahan dan penyimpangan, meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk
membaca al-Quran serta dapat membuktikan kemukjizatan al-Quran dari segi
kepadatan makna, kerana setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syarak tertentu
tanpa perlu pengulangan lafaz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar