12 Desember 2013

MUHKAM DAN MUTASYABIH


MUHKAM DAN MUTASYABIH

A.   Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Kata Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun,semua pengertian ini pada dasarnya kembali kepada makna pencegahan. Ahkam al-amr berarti “ia menyempunakan suatu hal dan pencegahnya dari kerusakan; Ahkam al-faras berarti’ ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.
Kata Mutasyabih berasal dari kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti ‘dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya’.
Dengan demikian, maka “Qur’an itu seluruhnya mutasyabih” maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya,dan sebagiannya membenarkan sebagian ayat yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuhal-amm,atau mutasyabih arti umum.
Masing-masing Muhkam dan Mutasyabih dengan pengertian secara umum sebagaimana di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi,pernyataan “Qur’an itu seluruhnya Muhkam”adalah dengan pengertian itqan (kokoh,indah,) yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “ kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafaz-lafaznya berbeda-beda. Jika Qur’an memerintahkan sesuatu hal ia tidak akan memerintahkan kebalikannya di tempat lain,tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larang dan berigta. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Qur’an. Firman-nya:
“dan seandainya Qur’an itu bukan dari sisi Allah.tentulah mereka akan mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya.”(an-Nisa’[4]:82).

1.    Muhkam dan Mutasyabih dalam arti khusus
Dalam Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus,sebagaimana terdapat dalam Firman Allah: Dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 7 menyatakan adanya ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا   الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ

“dialah yang menurunkan al-kitab (Qur’an) kepadamu,diantara (isi)-nya ada ayat-ayat muhkamat,itulah pokok-pokok isi Qur’an dan yang (ayat-ayat) mutasyabihat. Asdanya orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yangf mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih. semuanya itu dari sisi tuhan kami...”(Ali ‘imran[3]:7)
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat pula dalam merumuskan defenisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuthi misalnya telah mengemukakan 18 defenisi atau makna muhkam dan mutasyabih yang di berikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan 11 defenisi pula yang sebagiannya dikutip dari al suyuthi. Di antaran defenisi yang di kemukakan al-Zarqani adalah sebagai berikut:
1.    Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lebih nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),tidak diketahui makna baik secara akli maupun naqli,dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya,seperti datangnya hari kiamat,huruf-huruf yang terputus diawal-awal surah.pendapat ini di bangsakan al-alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.    Muhkam adalah ayat yang di ketahui maksudnya,baik secara nyata maupun melalui takwil,mutasyabi ialah ayat yang hanya mengetahui maksudnya ,seperti datangnya hari kiamat,keluarga dajjal,huruf-huruf yang terputus di awal-awal surah.pendapat ini di bangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang tetrpilih di kalangan mereka.
3.    Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini di bangsakan kepada ibn Abbas dan kebanyakan ahli ushul fiqh mengikutinya.
4.    Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang berdiri sendiri,tetapi memerlukan keterangan.kadang-kadang diterangkan dalam ayat atau keterangan tertentu dan kali yang lain di terangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena yterjadinya perbedaan pendapat dalam mentakwilnya pendapat ini diceritakan dalam imam ahmad r.a.
5.    Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna yang seharusnya idikasi atau melalui konteksnya.lafal musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini dibangsakan kepada imam al-Haramain.
6.    Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak amsuk kepadanya asykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam terdiri atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafal mubhamah (samar-samar).ini adalah pendap[atr Al-Thibi.
7.    Muhkam ialah ayat yang tunjukkan maknanya kuat, yaitu lafal nash dal lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawal,dan musykal. Pendapat ini dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.

Sesudah mengemukakan berbagai defenisi ini. Al-zarqani berkomentar bahwa defenisi-defenisi ini tidak bertentangan. Bahkan diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna. Namun, nenurut dia,pendapat imam al-Razi lebih jelas karena masalah ihkam dan tasyabun sebenarnya kembali kepada persoalan jelas atau tidaknya makna yang dimaksud Allah dari kalam yang diturunkan-Nya. Dari sudut ini, defenisi yang di kemukakan imam al-Razi merupakan defenisi yang jami’ (mencakup person-personnya) dan mani’ (menolak segala yang di luar person-personya). Dengan defenisi ini, tidak akan masuk kepada muhkam ayat atau lafal yang maknanya tersembunyi,dan tidak masuk kepada mutasyabih ayat atau lafal yang maknanya jelas.
Memang defenisi yang dipilih al-zarqani ini tampak lenih jelas dan lengkap dari defenisi-defenisi lainnya. Disamping alasan yang di kemukakan al-zarqani tadi,dapat di tambahkan bahwa kata”kuat” yang di terjemahkan dari kata rajihah dalam defenisi muhkam,dan kata “tidak kuat” yang diterjemahklan dari kata “ghair rajihah” dalam defenisi mutasyabih,sangat tepat penggunaannya dalam defenisi yang di kemukakan al-Razi. Sebab, asal arti rajih sendiri adalah ‘berat’.
Mengetahui pengertian Muhkam dan Mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:

a.    Muhkam adalah ayat yang mudah di ketahui maksudnya,sedangkan Mutasyabih hanyalah di ketahui makksudnya oleh Allah sendiri .
b.    Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan Mutasyabih mengandung banyak wajah.
c.     Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara lansung,tanpa memerlukan keterangan lain,. Sedangkan Mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan sengan merujuk kepada ayt-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud(hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengana ayat-ayat mansukhdan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
1)     “dan dialah yang berkuasa di atas hamba-hambanya.”(al-an’am[6]:18)
2)     “dan tangan Allah diatas mereka.”(al-fath[48]:10).
3)     “dan Allah memarahi mereka.”(al-fath[48]:6).
4)     “dan adatanglah Tuhanmu.” (al-fajr[89]:22)
5)     “maka ikutilah aku, niscaya allah akan mencintaimu.”(ali-imran[3]:31).

Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan beberapa surahyang dimulai dengan huruf-huruf Hija’iya dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus-sa’ah.

B.   Sikap Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih.
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1.    Madzhab salaf, yaitu para ulama yang memercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilahi). Meereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagai mana yang diterangkan Al-Qur’an. Diantara ulama yang masuk kedalam kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika ditanya tentang istiwa’, ia menjawab, “istiwa’ itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku mengira engkau adalah orang tidak baik, keluarkan dia dari tempatku.” Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini dianut oleh generasi dan para pemuka umat islam pertama. Madzhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada mazdhab ini pulalah, para imam dan pemuka hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini.
2.    Mazdhab khalaf ,yaitu para ulama yang berperndapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama mutaakhirin. Imam Al-Haramian (W. 478H) pada mulanya termasuk mazdhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam Ar-Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengukuti mazdhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih.

Berbeda dengan ulama salaf yang mensucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengalami hal-hal gaib sebagai mana dituturkan Al-Qur’an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ dita’wilkan dengan “keluhuran” yang abstrak, berupa pengadilan Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. “Kedatangan Allah” ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. “Allah berada di atas hamba-Nya” menunjukkan Kemahatinggian-Nya, bukan menunjukkan bahwa dia bahwa dia menempati suatu tempat. “Sisi Allah” di takwilakan dengan hak allah. “Wajah dan mata Allah” ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. “Tangan”ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya, dan “diri” ditakwilkan dengan siksa-Nya. Demikianlah, prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan antropomorpistik Allah pada ayat-ayat Al-Qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.
Untuk menengahi kedua mazdhab yang kotradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-’Id mengatakan apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih di kenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal lisan Arab, kita harus menagmbil sikaf tawaqquf (tidak memebenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesui apa yang dimaksud ayat-ayat tersebut dalam menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir ayat dapat dipahami melalui perckapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contonya adalah Q. S. Az-Zuamar [39] ayat 56 yang kami memaknai dengan hak dan kewajiban Allah.
Ibn Qutaibah (W. 276H.) menentukan dua syarat bagi absahnya penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesui dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahariyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.

C.   Hikmah keberadaan ayat-ayat dalam Mutasyabih dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an baik yang Muhkam maupun yang Mutasyabih semuanya datang dari Allah. jiak yang Muhkam maknanya jelas dan mudah dipahami sementara yang Mutasyabih maknanya samar dan tidak semua orang dapat menangkapnya, mengapa tidak sekalian saja diturunkan muhkam sehingga semua orang dengan mudah memahaminya?Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui apa hikamah dan rahasia keberadaan ayat-ayat mutsyabihat dalam Al-Qur’an. Para ulama telah banyak mengkaji hikamh ini yang empat diantaranya di sebutkan oleh Al-suyuthi dalam kitabnya Al-itqan.
1.    Ayat-ayat mutasyabihat ini mengahruskan upaya yang lebih banyak umat mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2.    Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya satu mazhab. Sebab, kejelasannya akan membatalkan semua mazhab diluarnya, sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak memanfaatkannya. akan tetapi, jika Al-Qur’an mengandung muhkam dan mutasyabihat maka masing-masing dari penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Selanjutnya, semua penganut mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamat menjadi penafsirnya.
3.    Jika Al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutsyabihat, maka untuk memahaminya di perlukan cara penafsirannya dan tarjih antara satu dengan lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti bahasa, gramatika. Ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh, dan sebagainya. Sekiranya hal itu tidak demikian sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul.
4.    Al-Qur’an berisi da’wah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Jika mereka mendengar pertama kalinya tentang sesuatu wujud tetapi tidak berwujud fisik dan berbentu,mereka menyangka bahwa hal itu tidak benar ada dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam ta’thil(peniadaan sifat-sifat Allah). Karena itu, sebaiknyalah kepada mereka disampaikan lafal-lafal yang menunjukkan pengertian-pengertian yang sesuai dengan imajinasi dan khayal mereka. Ketika itu bercampur antara keberadaanempirik dan hakikat. Bagian pertama adalah ayat-ayat mutsyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan.pada akhirnya,bagian kedua berupa ayat-ayat muhkamat menyingkapkan hakikat sebenarnya.

Al-zarqani menyebutkan 10 hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an. Empat diantaranya hikmah yang disebutkan oleh al-suyuthi diatas. Ke empat hikmah ini dikutip oleh Al-zarqani dari Al-Fakhr al-Razi. Enam hikmah lainnya berikut ini disebutkan secara ringkas.
a.       Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat bagi manusia ayat lemah yang tidak mampu mengetahui segala sesuatu ketika Tuhan menampakkan diri bagi bukit itu, bukit itu hancur luluh dan musa jatuh pingsan. Bagaimana pula sekiranya Tuhan menampakkan zat dan hakikat sifat-sifat-Nya kepada manusia? Karena itu,Tuhan menyembunyikan pengetahuan tentang hari kiamat bagi manusia sebagai rahmat agar mereka tidak beremalas-malas membuat persiapan menghadapinya.
b.      Keberadaannya ayat-ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, apakah mereka percaya atau tidak tentang hal gaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang benar. Orang-orang yang mendapat hidayah akan meyakininya sekalipun mereka tidak mengetahui perincihannya.sedangkan orang-orang yang sesat akan mengingkarinya.
c.       Ayat-ayat ini menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia. Bagaimanapun besar kesiapan dan banyak ilmunya,,namun Tuhan sendirilah yang mengetahui segala-galanya.
d.      Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an menguatkan kemu’jizatannya. sebab, setiap yang didalamnya terkandung pengertian yang tersembunyi yang membawa kepada tasybuh(kesamaran) memiliki andil yang besar dalam kebalaghahannya san sampainya ke tingkat yang paling tinggi dala bayan.
e.       Keberadaan mutasyabihat mempermudah orang menghafal dan memelihara Al-Qur’an.sebab,setiap kalimat yang mengandung banyak penafsiran yang berakibat kepada ketidak  jelasan akan menunjukkan banyak makna yang lebih dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal. lafal-lafal secara niscaya Al-Qur’an menjadi berjilid-jilid yang besar. Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal dan memeliharanya.
f.        Terkandungnya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat dalam Al-Qur’an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan argumen-argumen akal. Dengan demikian ia bebas dari kegelapan taqlid. Hali ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan keabsahan memperpeganginya. Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam niscaya tidak memerlukan argumen-argumen akal dan tetaplah akal terabaikan.

Sebenarnya keterangan Al-Zarqani di atas dapat diterapkan dalam konteks pendapatnya yang mengelompokkan ayat-ayat mutasyabihat kepada tiga kategori,yaitu ayat-ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah, ayat-ayatyang dapat dipahami oleh semua orang dan dapat ,dan ayat-ayat yang hanya dapat dipahami oleh para ulama tertentu. Sebab, sebagian hikmah yang disebutkan Al-zurqani menunjukkan bahwa ayat-ayat mutasyabihat sebagiannya memang tidak mungkin dipahami oleh manusia,yaitu pada butir 1,2,3,dan 4. Adapun penerapannya dalam konteks pendapat Rasyid Ridha, Shubhi al Shihah dan beberapa ulama lainnya yang memandang ayat-ayat mutasyabihat dapat dipahami oleh manusia tanpa pengecualian,maka hanya butir 5 dan 6 yang dapat di gabungkan  kepada empat hikmah yang di kemukakan Al-Suyuthi sebelumnya. Inilah sebagian hikmah yang di kemukakan para ulama sehubungan dengan keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar