MUHKAM
DAN MUTASYABIH
A. Pengertian Muhkam dan
Mutasyabih
Kata
Muhkam berasal dari kata ihkam yang
secara berarti kekukuhan, kesempurnaan,
keseksamaan, dan pencegahan. Namun,semua pengertian ini pada dasarnya kembali
kepada makna pencegahan. Ahkam al-amr
berarti “ia menyempunakan suatu hal dan pencegahnya dari kerusakan; Ahkam al-faras berarti’ ia membuat
kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.
Kata Mutasyabih berasal dari kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh
yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada
kesamaran antara dua hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti ‘dua hal yang masing-masing menyerupai yang
lainnya’.
Dengan demikian, maka “Qur’an itu seluruhnya mutasyabih”
maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain
dalam kesempurnaan dan keindahannya,dan sebagiannya membenarkan sebagian ayat
yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah
yang dimaksud dengan at-tasyabuhal-amm,atau
mutasyabih arti umum.
Masing-masing
Muhkam dan Mutasyabih dengan pengertian secara umum sebagaimana di atas ini
tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi,pernyataan “Qur’an
itu seluruhnya Muhkam”adalah dengan pengertian itqan (kokoh,indah,) yakni
ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini
karena “ kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafaz-lafaznya
berbeda-beda. Jika Qur’an memerintahkan sesuatu hal ia tidak akan memerintahkan
kebalikannya di tempat lain,tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang
serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larang dan berigta. Tidak ada
pertentangan dan perselisihan dalam Qur’an. Firman-nya:
“dan seandainya Qur’an itu bukan dari sisi Allah.tentulah
mereka akan mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya.”(an-Nisa’[4]:82).
1. Muhkam
dan Mutasyabih dalam arti khusus
Dalam
Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti
khusus,sebagaimana terdapat dalam Firman Allah: Dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 7 menyatakan adanya ayat-ayat yang muhkam dan
mutasyabih.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ
آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلا أُولُو الألْبَابِ
“dialah
yang menurunkan al-kitab (Qur’an) kepadamu,diantara (isi)-nya ada ayat-ayat
muhkamat,itulah pokok-pokok isi Qur’an dan yang (ayat-ayat) mutasyabihat.
Asdanya orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,mereka
mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yangf mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat
mutasyabih. semuanya itu dari sisi tuhan
kami...”(Ali ‘imran[3]:7)
Secara istilah, para
ulama berbeda pendapat pula dalam merumuskan defenisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuthi
misalnya telah mengemukakan 18 defenisi atau makna muhkam dan mutasyabih yang di berikan para ulama. Al-Zarqani
mengemukakan 11 defenisi pula yang sebagiannya dikutip dari al suyuthi. Di
antaran defenisi yang di kemukakan al-Zarqani adalah sebagai berikut:
1.
Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lebih nyata yang
tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih
ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),tidak diketahui makna baik secara akli
maupun naqli,dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya,seperti datangnya
hari kiamat,huruf-huruf yang terputus diawal-awal surah.pendapat ini di
bangsakan al-alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.
Muhkam adalah ayat yang di ketahui maksudnya,baik secara
nyata maupun melalui takwil,mutasyabi ialah ayat yang hanya mengetahui
maksudnya ,seperti datangnya hari kiamat,keluarga dajjal,huruf-huruf yang
terputus di awal-awal surah.pendapat ini di bangsakan kepada ahli sunnah
sebagai pendapat yang tetrpilih di kalangan mereka.
3.
Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu
kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak
kemungkinan makna takwil. Pendapat ini di bangsakan kepada ibn Abbas dan
kebanyakan ahli ushul fiqh mengikutinya.
4.
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan
keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang berdiri sendiri,tetapi memerlukan
keterangan.kadang-kadang diterangkan dalam ayat atau keterangan tertentu dan
kali yang lain di terangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena
yterjadinya perbedaan pendapat dalam mentakwilnya pendapat ini diceritakan
dalam imam ahmad r.a.
5.
Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang
membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih
ialah ayat yang makna yang seharusnya idikasi atau melalui konteksnya.lafal
musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini dibangsakan kepada
imam al-Haramain.
6.
Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak amsuk
kepadanya asykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam terdiri atas
ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafal mubhamah (samar-samar).ini
adalah pendap[atr Al-Thibi.
7.
Muhkam
ialah ayat yang tunjukkan maknanya kuat, yaitu lafal nash dal lafal zahir.
Mutasyabih ialah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawal,dan
musykal. Pendapat ini dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peneliti yang
memilihnya.
Sesudah
mengemukakan berbagai defenisi ini. Al-zarqani berkomentar bahwa
defenisi-defenisi ini tidak bertentangan. Bahkan diantaranya terdapat persamaan
dan kedekatan makna. Namun, nenurut dia,pendapat imam al-Razi lebih jelas
karena masalah ihkam dan tasyabun
sebenarnya kembali kepada persoalan jelas atau tidaknya makna yang dimaksud
Allah dari kalam yang diturunkan-Nya. Dari sudut ini, defenisi yang di kemukakan
imam al-Razi merupakan defenisi yang jami’ (mencakup person-personnya) dan
mani’ (menolak segala yang di luar person-personya). Dengan defenisi ini, tidak
akan masuk kepada muhkam ayat atau lafal yang maknanya tersembunyi,dan tidak
masuk kepada mutasyabih ayat atau lafal yang maknanya jelas.
Memang defenisi yang dipilih al-zarqani ini tampak lenih jelas
dan lengkap dari defenisi-defenisi lainnya. Disamping alasan yang di kemukakan
al-zarqani tadi,dapat di tambahkan bahwa kata”kuat” yang di terjemahkan dari
kata rajihah dalam defenisi
muhkam,dan kata “tidak kuat” yang diterjemahklan dari kata “ghair rajihah” dalam defenisi
mutasyabih,sangat tepat penggunaannya dalam defenisi yang di kemukakan al-Razi.
Sebab, asal arti rajih sendiri adalah
‘berat’.
Mengetahui
pengertian Muhkam dan Mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat.
Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
a.
Muhkam adalah ayat yang mudah di ketahui
maksudnya,sedangkan Mutasyabih hanyalah di ketahui makksudnya oleh Allah
sendiri .
b.
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah,
sedangkan Mutasyabih mengandung banyak wajah.
c.
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara
lansung,tanpa memerlukan keterangan lain,. Sedangkan Mutasyabih tidak demikian;
ia memerlukan penjelasan sengan merujuk kepada ayt-ayat lain.
Para
ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh,
ayat-ayat tentang halal, haram, hudud(hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih
mereka mencontohkan dengana ayat-ayat mansukhdan ayat-ayat tentang asma’ Allah
dan sifat-sifat-Nya, antara lain:
1)
“dan dialah yang berkuasa di atas
hamba-hambanya.”(al-an’am[6]:18)
2)
“dan tangan Allah diatas
mereka.”(al-fath[48]:10).
3)
“dan Allah memarahi
mereka.”(al-fath[48]:6).
4)
“dan adatanglah Tuhanmu.”
(al-fajr[89]:22)
5)
“maka ikutilah aku, niscaya allah akan
mencintaimu.”(ali-imran[3]:31).
Dan
masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan beberapa
surahyang dimulai dengan huruf-huruf Hija’iya dan hakikat hari kemudian serta
‘ilmus-sa’ah.
B. Sikap Ulama Terhadap Ayat-ayat
Muhkam dan Mutasyabih.
Sikap para
ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Madzhab salaf, yaitu para ulama yang memercayai dan
mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri
(tafwidh ilahi). Meereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang
mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagai mana yang diterangkan Al-Qur’an.
Diantara ulama yang masuk kedalam kelompok ini adalah Imam Malik. Ketika
ditanya tentang istiwa’, ia menjawab, “istiwa’ itu
maklum, sedangkan caranya tidak diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku
mengira engkau adalah orang tidak baik, keluarkan dia dari tempatku.” Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa madzhab salaf ini
dianut oleh generasi dan para pemuka umat islam pertama. Madzhab ini pulalah
yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada mazdhab ini pulalah, para
imam dan pemuka hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorangpun diantara
para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini.
2. Mazdhab khalaf ,yaitu para ulama yang berperndapat
perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat Allah
sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya
berasal dari kalangan ulama mutaakhirin. Imam Al-Haramian (W. 478H) pada
mulanya termasuk mazdhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam
Ar-Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam
beragama adalah mengukuti mazdhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan
cara tidak tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih.
Berbeda dengan
ulama salaf yang mensucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih
itu, mengalami hal-hal gaib sebagai mana dituturkan Al-Qur’an, dan menyerahkan
bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan
penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih. Istiwa’ dita’wilkan dengan
“keluhuran” yang abstrak, berupa pengadilan Allah terhadap alam ini tanpa
merasa kepayahan. “Kedatangan Allah” ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya.
“Allah berada di atas hamba-Nya” menunjukkan Kemahatinggian-Nya, bukan
menunjukkan bahwa dia bahwa dia menempati suatu tempat. “Sisi Allah” di
takwilakan dengan hak allah. “Wajah dan mata Allah” ditakwilkan dengan pengawasan-Nya.
“Tangan”ditakwilkan dengan kekuasaan-Nya, dan “diri” ditakwilkan dengan
siksa-Nya. Demikianlah, prinsip penafsiran ulama khalaf. Kesan-kesan
antropomorpistik Allah pada ayat-ayat Al-Qur’an ditakwilkan dengan arti yang
cocok dengan kesucian Allah.
Untuk menengahi
kedua mazdhab yang kotradiktif itu, Ibn Ad-Daqiq Al-’Id mengatakan apabila
penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih di kenal oleh lisan
Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal lisan Arab, kita
harus menagmbil sikaf tawaqquf (tidak memebenarkan dan tidak pula menyalahkan)
dan mengimani maknanya sesui apa yang dimaksud ayat-ayat tersebut dalam
menyucikan Allah. Namun, bila arti lahir ayat dapat dipahami melalui perckapan
orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawaqquf. Contonya adalah Q. S.
Az-Zuamar [39] ayat 56 yang kami memaknai dengan hak dan kewajiban Allah.
Ibn Qutaibah
(W. 276H.) menentukan dua syarat bagi absahnya penakwilan. Pertama, makna yang
dipilih sesui dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki
otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang
dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Azh-Zhahariyyah yang
menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa
awal.
C. Hikmah keberadaan ayat-ayat
dalam Mutasyabih dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat
dalam Al-Qur’an baik yang Muhkam
maupun yang Mutasyabih semuanya
datang dari Allah. jiak yang Muhkam
maknanya jelas dan mudah dipahami sementara yang Mutasyabih maknanya samar dan tidak semua orang dapat menangkapnya, mengapa tidak sekalian saja diturunkan muhkam sehingga semua
orang dengan mudah memahaminya?Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui apa
hikamah dan rahasia keberadaan ayat-ayat mutsyabihat
dalam Al-Qur’an. Para ulama telah banyak mengkaji hikamh ini yang empat
diantaranya di sebutkan oleh Al-suyuthi dalam kitabnya Al-itqan.
1. Ayat-ayat mutasyabihat ini mengahruskan upaya yang
lebih banyak umat mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang
yang mengkajinya.
2. Sekiranya Al-Qur’an
seluruhnya muhkam tentunya hanya satu mazhab. Sebab, kejelasannya
akan membatalkan semua mazhab diluarnya, sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab
dan tidak memanfaatkannya. akan
tetapi, jika Al-Qur’an mengandung muhkam
dan mutasyabihat maka masing-masing
dari penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Selanjutnya, semua
penganut mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamat menjadi penafsirnya.
3. Jika Al-Qur’an mengandung
ayat-ayat mutsyabihat, maka untuk memahaminya di perlukan cara penafsirannya
dan tarjih antara satu dengan lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti bahasa, gramatika. Ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh, dan sebagainya. Sekiranya hal itu tidak demikian sudah
barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul.
4. Al-Qur’an berisi da’wah
terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak
menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Jika mereka mendengar pertama kalinya
tentang sesuatu wujud tetapi tidak berwujud fisik dan berbentu,mereka menyangka
bahwa hal itu tidak benar ada dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam ta’thil(peniadaan sifat-sifat Allah).
Karena itu, sebaiknyalah kepada mereka disampaikan lafal-lafal yang menunjukkan
pengertian-pengertian yang sesuai dengan imajinasi
dan khayal mereka. Ketika itu
bercampur antara keberadaanempirik
dan hakikat. Bagian pertama adalah
ayat-ayat mutsyabihat yang dengannya
mereka diajak bicara pada tahap permulaan.pada akhirnya,bagian kedua berupa
ayat-ayat muhkamat menyingkapkan
hakikat sebenarnya.
Al-zarqani
menyebutkan 10 hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat
dalam Al-Qur’an. Empat diantaranya hikmah yang disebutkan oleh al-suyuthi
diatas. Ke empat hikmah ini dikutip oleh Al-zarqani dari Al-Fakhr al-Razi. Enam
hikmah lainnya berikut ini disebutkan secara ringkas.
a. Ayat-ayat mutasyabihat
merupakan rahmat bagi manusia ayat lemah yang tidak mampu mengetahui segala
sesuatu ketika Tuhan menampakkan diri bagi bukit itu, bukit itu hancur luluh
dan musa jatuh pingsan. Bagaimana pula sekiranya Tuhan menampakkan zat dan
hakikat sifat-sifat-Nya kepada manusia? Karena itu,Tuhan menyembunyikan
pengetahuan tentang hari kiamat bagi manusia sebagai rahmat agar mereka tidak
beremalas-malas membuat persiapan menghadapinya.
b. Keberadaannya ayat-ayat ini
juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, apakah mereka percaya atau tidak
tentang hal gaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang benar.
Orang-orang yang mendapat hidayah akan meyakininya sekalipun mereka tidak
mengetahui perincihannya.sedangkan orang-orang yang sesat akan mengingkarinya.
c. Ayat-ayat ini menjadi dalil
atas kelemahan dan kebodohan manusia. Bagaimanapun besar kesiapan dan banyak
ilmunya,,namun Tuhan sendirilah yang mengetahui segala-galanya.
d. Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an menguatkan
kemu’jizatannya. sebab, setiap yang didalamnya terkandung pengertian yang
tersembunyi yang membawa kepada tasybuh(kesamaran)
memiliki andil yang besar dalam kebalaghahannya san sampainya ke tingkat yang
paling tinggi dala bayan.
e. Keberadaan mutasyabihat
mempermudah orang menghafal dan memelihara Al-Qur’an.sebab,setiap kalimat yang
mengandung banyak penafsiran yang berakibat kepada ketidak jelasan akan menunjukkan banyak makna yang
lebih dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal. lafal-lafal secara niscaya Al-Qur’an menjadi berjilid-jilid
yang besar. Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal dan memeliharanya.
f.
Terkandungnya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat dalam
Al-Qur’an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan argumen-argumen
akal. Dengan demikian ia bebas dari kegelapan taqlid. Hali ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan
keabsahan memperpeganginya. Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam
niscaya tidak memerlukan argumen-argumen akal dan tetaplah akal terabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar