12 Desember 2013

NASIKH DAN MANSUKH


NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

A.   Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil).
Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan nasakh dengan 2 macam yaitu:
Pertama: الازلة yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata:
نسخت الشمس الظل.
“Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang”.
Kedua: memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya (نقل الشيء الى موضع).
Adapun secara terminologinya, naskh adalah raf’ al-hukm al-syari’at bid dalil asy-syar’i. Defenisi ini akan membawa pada pengertian bahwa naskh itu mengandung arti izalah dan raf’. Selanjutnya, apabila hukum syar’i hanya bisa dihapus oleh hukum syar’i maka akan timbul persoalan, apakah naskh hanya berlaku antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an saja, tidak dengan sunnah.[1]
Adapun yang dimaksud dengan nasakh dalam terminologi para ahli-ahli ilmu al-Qur’an dan ulama ushul fiqh dapat dilihat dari definisi nasakh yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani dan Muhammad Abu Zahrah di bawah ini:
Yang pertama, Az-Zarqani yang dapat dikatakan mewakili kalangan ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, memformulasikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i berdasarkan dalil syar’i. Sementara Abu Zahrah, yang mereferensikan kalangan ulama ushul fiqh, mendefinisikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i oleh syari’ (Allah SWT) dengan dalil yang datang kemudian.
Jadi, nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang datang kemudian. Hukum syar’i yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut dengan istilah nasikh; sementara hukum syar’i yang dihapus atau dibatalkan disebut mansukh.
Sebagai contoh, sebelum turun ayat dalam surat al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan kiblat shalat ke arah Ka’bah Baitullah di Masjidil Haram, kiblat kaum muslimin adalah menghadap ke arah Masjidil Aqsha, tetapi setelah turun ayat yang memerintahkan arah kiblat ke Masjidil Haram, maka nabi Muhammad beserta umatnya beralih arah kiblatnya ke Masjidil Haram. Dari kasus ini dapat dikemukakan bahwa menghadap kiblat ke Masjidil Haram adalah nasikh, sedangkan menghadap ke Masjidil Aqsha adalah mansukh.
Selanjutnya, uraian tentang pengertian naskh ini dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu berikut ini.
1.    Gambaran tentang terangkatnya hukum syari’at tidak mungkin terlaksana kecuali dengan dua jalan:
a.    Bahwa dalil syar’i mempunyai tenggang waktu dengan hukum marfu’.
b.    Bahwa antara dua dalil ini terjadi ta’arudh hakiki sehingga tidak mungkin melakukan kompromi (al-jam’) antara keduanya.
2.    Defenisi tersebut memberi pengertian bahwa naskh tidak tertuju kepada hukum. Dengan demikian, sekalipun ada pembagian naskh tilawah dan hukum hanya sekedar untuk memberi penjelasan tentang naskh itu. Yang disebut naskh tilawah itu sesungguhnya tidak keluar naskh hukum karena naskh tilawah itu tidak mempunyai arti hakikat kecuali menasakhkan hukum juga.
3.    Naskh yang terjadi mencakup dalam Al-Qur’an dan As Sunnah semuanya yaitu: qauliyah, fi’liyah, wasfiyah dan tadriyah, karena semuanya bersumber dari wahyu Allah SWT. dengan demikian, tidak mungkin timbul dari ibtida’ dan naskh kecuali berdasarkan wahyu Allah SWT. baik yang sharih maupun taqrir.
4.    Bahwa idhafah dalam raf’ al-hukm asy-syar’i adalah idhafah masdar kepada maf’ul sedang fa’ilnya tersembunyi, yaitu Allah SWT. dengan demikian, pengertian sesungguhnya dari nasikh itu adalah Allah SWT.[2]

B.     Macam-macam Nasikh Mansukh
Naskh terbagi kepada tiga macam, yaitu:
a.    Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Ma’an, yaitu penghapusan teks al-Qur’an dan sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: “Pada mulanya, diturunkan ayat al-Qur’an (tentang saudara sepersusuan yang haram untuk dinikahi) adalah sepuluh susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima kali susuan yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah wafat.
b.    Naskh al-Hukmi wa Baqa’ al-Tilawah, yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan bacaannya atau teksnya tetap diabadikan. Ayat-ayat yang dijadikan contoh antara lain ayat tentang mendahulukan sedekah (QS. Al- Mujadilah:12)

يا ايها الذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة ذلك خيرلكم واطهر فان لم تجدوا فان الله غفور رحيم.

Ayat ini dinasakhkan oleh ayat Al-Mujadilah: 13   
                                       
ااشفقتم ان تقدموا بين يدي نجواكم صدقات فاذا لم تفعلوا وتاب الله عليكم فاقيموا الصلاة واتوا الزكاة واطيعوا الله ورسوله والله خبير بما تعملون.

Arti ayat yang pertama dinasakhkan ayat yang kedua, tetapi bacaan keduanya tetap.
Menurut As-Suyuthi, ayat-ayat mansukh bagian kedua ini berjumlah 20 tempat, yaitu:
1.      QS. Al-Baqarah: 180 dinasakhkan ayat mawarits, menurut yang lain dinasakhkan oleh hadits, adapula yang mengatakan dinasakhkan dengan ijma’ (yang dihikayatkan Ibn Arabi).
2.      QS. Al-Baqarah: 184 dinasakhkan ayat 185.
3.      QS. Al-Baqarah: 187 dinasakhkan ayat 183.
4.      QS. Al-Baqarah: 217 dinasakhkan QS. At-Taubah: 36.
5.      QS. Al-Baqarah: 240 dinasakhkan ayat 234.
6.      QS. Al-Baqarah: 284 dinasakhkan ayat 286.
7.      QS. Al-Baqarah: 102 dinasakhkan QS. At-Taghabun: 16.
8.      QS. An-Nisa’: 33 dinasakhkan QS. Al-Anfal: 75.
9.      QS. An-Nisa’:8 dinasakhkan ayat 15 (menurut sebagian tidak).
10.  QS. An-Maidah: 2 dinasakhkan dengan boleh berperang.
11.  QS. An-Maidah: 42 dinasakhkan ayat 49.
12.  QS. Al- Anfal: 65 dinasakhkan ayat sesudahnya.
13.  QS. Al- Baraah: 41 dinasakhkan ayat ‘uzur, QS. An-Nur: 61 dan QS. At-Taubah: 91-92, 122.
14.  QS. An-Nur: 3 dinasakhkan ayat 32.
15.  QS. An-Nur: 58 dinasakhkan (menurut sebagian tidak).
16.  QS. Al-Ahzab: 50 dinasakkhkan ayat 50.
17.  QS. Al-Mujadilah: 12 dinasakhkan ayat 13.
18.  QS. Al-Mumtahanah: 11 dinasakhkan ayat ghanimah dan menurut yang lain muhkam.
19.  QS. Al- Muzammil: 2 dinasakhkan ayat akhir surat kemudian dinasakhkan oleh shalat yang lima.
20.  QS. Al-Baqarah: 115 dinasakhkan ayat 144.

c.     Naskh al-tilawah wa baqa’ al-hukmi, yaitu dinasakhkan bacaan bukan hukumnya, seperti ayat rajam pernyataan Umar bin al-Khattab yang menyatakan: “Sekiranya aku tidak khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambah-nambahkan al-Qur’an dengan yang tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang hukuman rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat:

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما ألبتة نكالاً من الله والله عزيز حكيم[3]
                  
Adapun pembagian dari naskh itu terbagi atas ada empat, yaitu:
1.    Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari. Allah SWT berfirman dalam QS. Al- Baqarah (2): 240,
artinya: “ Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, yaitu diberi nafkah sehingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu, (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. Al-Baqarah: 234
artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Ada yang berpendapat bahwa ayat pertama muhkam, sebab ia berkaitan dengan pemberian wasiat bagi istri, jika istri itu tidak keluar dari rumah suami dan tidak kawin lagi. Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan masalah iddah. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua ayat ini.
2.    Al-Qur’an dengan Sunnah
naskh ini terbagi atas dua macam:
Adapun kalau nash Al-Qur’an dinasakh dengan nash Sunnah, maka perlu diketahui kalau Sunnah terbagi menjadi dua macam:
a.    Nash Sunnah yang dinukil secara mutawatir, sebagaimana cara Al-Qur’an dinukil.
Syaikh Ali bin Ubaidillah telah menceritakan dua  buah riwayat yang berasal dari Ahmad. Dalam riwayat ini disebutkan, kalau Ahmad telah berkata bahwa pendapat yang masyhur menyebutkan kalau nash Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat inilah yang dianut oleh Ats-Tsauri dan Asy-Syafi’i. Sedangkan riwayat kedua dari Ahmad menyebutkan kalau nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat ini telah dianut oleh Abu Hanifah.
Malik berkata bahwa dalil untuk riwayat pertama dari Ahmad, yang menyatakan nash Al-Qur’an tidak bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir adalah firman Allah SWT.

ما ننسخ من اية او ننسها نات بخير منها او مثلها.

“ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”. (QS. Al-Baqarah (2): 106)
Adapun dalil untuk riwayat kedua dari Ahmad, yang menyebutkan bahwa nash Hadits mutawatir bisa menasakh nash Al-Qur’an adalah firman Allah SWT.

وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم.

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat  manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl: 44)
Bukti bahwa Hadits mutawatir bisa menasakh nash Al-Qur’an menurut pendapat yang membolehkannya adalah firman Allah SWT. “Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 180) yang dinasakh dengan sabda Rasulullah SAW,
لا وصية لوارث.
“Tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
b.    Nash Sunnah yang dinukil secara ahad. Jenis nash Sunnah ini sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk menasakh Al-Qur’an, karena Hadits Ahad tidak berkonsekuensi hukum qath’i (pasti), namun hanya menimbulkan hukum yang bersifat zhann. Padahal, Al-Qur’an merupakan nash yang berkonsekuensi hukum qath’i. Oleh karena itu, tidak boleh meninggalkan sesuatu yang sifatnya qath’i hanya karena pertimbangan sesuatu yang bersifat zhann.[4]
3.    Sunnah dengan Al-Qur’an
Naskh ini dibolehkan oleh jumhur ulama . [8] Misalnya masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-qur`an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinaskh oleh al-qur`an dengan firmannya : Artinya : “Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai . Palingkanlah mukamu kearah masjidil haram . Dan di mana saja kamu berada , palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang orang (yahudi dan nasrani) yang diberi al-Kitab (taurat dan injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari tuhannya dan Allah sekali kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Baqarah/2: 144)
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” [Al Baqarah :144]
4.    Sunnah dengan Sunnah
Naskh dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a.    Sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir
b.    Sunnah ahad dengan sunnah ahad
c.    Sunnah ahad dengan mutawatir
d.   Sunnah mutawatir dengan sunnah ahad
Bentuk a,b dan c diperbolehkan sedangkan bentuk d terjadi silang pendapat seperti halnya naskh al-qur`an dengan hadits ahad , yang tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama .

C.   Pandangan Ulama Tentang Nasikh dan Mansukh
Para ulama bersepakat bahwa nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Al-Qur’an. Begitu juga dengan nash Sunnah boleh dinasakh dengan nash Sunnah.
Sebagian ulama yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat Al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40. 
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal Al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad Al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh internal Al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang oleh Al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh ayat-ayat Al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan. 
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).
Adapun ulama yang menerima adanya nasikh dan mansukh:
1.    Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengakui adanya naskh dalam Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah: 106,

ما ننسخ من اية او ننسها نات بخير منها او مثلها الم تعلم ان الله علي كل شيء قدير.

“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2.    Ibnu katsir
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa “Sesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah, karena Allah mentepkan hukum menurut kehendak Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki Nya.”
3.    Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan naskh dalam Al-Qur’an dengan menyatakan, “Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan tempat, Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keprluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi jauh lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”
4.    Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan: ”Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”
5.    Sayyid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap pendirian orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan hukum-hukum Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi dan kondisi mereka yang berkembang yang baru.
6.    Manna Khalil Al-Kattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri` pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hambaNya.
Sedangkan tokoh yang menolak adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an:
1.    Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
2.    Imam Ar-Razi
3.    Muhammad Abduh
4.    Dr. Taufiq Sidqi
5.    Muhammad Khudari Bek
6.    Muhammad Abduh
Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh, dengan perbedaan penafsiran. Adapun alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:
1.    Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebagai argumentasi adanya naskh dalam al-Qur`an, menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari al-Qur`an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan oleh al-Qur`an . Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab kitab suci sebelum al-Qur`an diganti dengan yang lebih baik , ayitu al-Qur`an. Kandungan surat an-Nahl ayat : 101 dilihat dari segi turunnya ditujukan kepada orang orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum yang ada di dalam al-Qur`an berlainan dengan hukum hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka kalau al-Qur`an benar benar datang dari Allah SWT, maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hambaNya.
2.    Jika dalam al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti didalam al-Qur`an terdapat kesalahan dan saling berlawanan , padahal al-Qur`an sendiri telah menegaskan:
Artinya ”Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS.Fush-shilat / 41: 42)
3.    Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam al-Qur`an. Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.
4.    Hadits – hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits ”Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum sesuatu.
5.    Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh. Misalnya , menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada sebagian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif.

D.  Metode yang Digunakan untuk Mengetahui Nasikh Mansukh
1.    Penjelasan langsung dari rasul
2.    Dalam satu nash yang bertentangan itu ada petunjuk yang menyatakan salah satu nash lebih dahulu datangnya dari yang lain. Seperti hadits Nabi :

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فالآن فزورها.(رواه المسلم)
 
Artinya : Dahulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur tapi kini ziarahilah.
3.    Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang bertentangan itu lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain.
Adapun cara lain yang digunakan untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Keterangan tegas dan nabi atau sahabat,
2.    Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat mi nasakh dan ayat itu mansukh.
3.    Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

E.   Manfaat yang Bisa Dipetik dari Mempelajari Nasikh Mansukh
1.    Hukum nasikh lebih berat dari mansukh
Sebagian alasan adanya naskh yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa ummat ke derajat yang lebih tinggi akhlak dan tingkat peradabannya. Pada mulanya mereka cukup untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah lama seperti kasus meminum khamar. Pada mulanya masih dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari manfaatnya, kemudian khamar diharamkan sama sekali.
2.    Hukum nasikh lebih ringan dan mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberi keringanan kepada hamba Nya dan menunjukkan karunia Allah SWT. dan Rahmat Nya. Dengan demikian hamba Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan, dan mencintai agama Nya.
3.    Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh
sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasikh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan dan berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi hamba Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka yang betul-betul beriman. siapa yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa yang menjadi munafik. pemisahan antara yang betu-betul beriman menjadi faktor utama.[5]
Adapun manfaat yang lain yang bisa dipetik yaitu:
a.    Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
b.    Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c.     Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d.    Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e.    Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.


[1] Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 85
[2]  Ibid. hlm. 85-86
[3]  Ibid. hlm. 91-93
[4] Imam Al Hafizh Abi Al Faraj Abdurrahman Ibnu Jauzi penerjemah Wawan Djunaedi Soffandi, S. Ag, Nasikh Mansukh, 2002, hlm. 30-32

[5] Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, MA, Pengantar Ilmu Tafsir, 2006, hlm. 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar